Tuesday, January 27, 2009

RIP Charles Cooper of Telefon Tel Aviv

Kemarin sore saya mendapat sebuah kabar duka bahwa Charles Cooper atau yang biasa dipanggil Charlie, salah satu dari duo IDM Telefon Tel Aviv telah meninggal dunia. Teman kantor saya, Ega yang memberitahu pertama kali kabar ini. Ia membacanya di blog myspace dari Telefon Tel Aviv.

Di blognya, Joshua Eustis hanya menulis berita bahwa teman satu bandnya telah meninggal dunia, tanpa memberitahu penyebab kematiannya. Ini salah satu petikan tulisan Joshua di blog myspace Telefon Tel Aviv:

It breaks my heart to inform you all that Charlie Cooper, my better half in Telefon Tel Aviv, passed away on January 22nd.

We have been friends since high school, and began making records together a decade ago. We have been so fortunate to tour the world together, while at the same time having a massive amount of laughs at one another’s expense.

Setelah membaca berita duka itu, seketika saya langsung mencari tahu kabar selanjutnya di internet. Tetapi ternyata kabar duka tersebut belum tersebar luas. Baru satu atau dua blog yang memberitakan berita duka itu. Itupun hanya mengutip tulisan Joshua di Myspace.

Baru pagi ini, saya kembali mencari tahu penyebab kematian dari Charlie. Dan ini beberapa fakta yang saya temukan:

A 31-year-old Louisiana-born musician -- missing from a Wicker Park residence since an argument with his girlfriend last week -- has been found dead in the Near Northwest Side neighborhood.

Charles Cooper went missing last Wednesday night after an argument with his girlfriend. He had been staying with a friend in the Wicker Park neighborhood when he got into the argument, according to Grand Central Area detectives.

Cooper left the residence, located near 1400 N. Milwaukee Ave., before midnight on Jan. 21 and had no contact with friends or family members since, police said. He reportedly has a history of threatening suicide, but did not make such threats last week.

Cooper was found Monday at 2306 N. Lawndale Ave., according to the Cook County Medical Examiner's office. Pronouncement information was not available and an autopsy was scheduled for Tuesday to determine the cause and manner of death.

Kematian Charlie sungguh tragis. Di luar penyebab kematiannya yang masih misterius, kematian Charlie hanya berselang dua hari setelah album baru Telefon Tel Aviv, Immolate Yourself dirilis secara resmi.


Sebagai fans mereka, saya beruntung sempat menyaksikan sekaligus mewawancarai mereka ketika Telefon Tel Aviv datang ke Indonesia di akhir tahun 2007.


Saya masih ingat dengan jelas, ketika saya bertatap muka langsung dengan mereka. Kesan pertama saya terhadap Charlie, ia seorang pria yang ramah, murah senyum dengan tutur bahasa yang santun. Sedikit bertolak belakang dengan rekan satu bandnya, Joshua kalau menurut saya.

Setelah interview berakhir, saya menyerahkan majalah tempat saya bekerja waktu itu kepada mereka. Dan Charlie yang pertama berkomentar, bahwa ia berharap dapat membaca semua tulisan di majalah itu (yang berbahasa Indonesia) karena menurutnya sepertinya isi majalahnya sangat menarik.



Di sore harinya, ketika saya datang ke press conference di Blitz Megaplex di mal PVJ, Charlie yang terlebih dulu menyapa saya ketika ia melihat saya di press conference tersebut. Tidak ada kesan bahwa ia seorang musisi yang hebat atau terkenal.

Penampilan mereka di Indonesia berakhir kurang begitu sukses karena masalah teknis saat di panggung. Setelah pertunjukkan, saya menemui mereka di belakang panggung, dan menanggapi masalah teknis tersebut, Charlie hanya menyikapinya dengan senyum. Apa yang sudah terjadi, terjadilah, begitu katanya. Sepertinya ia maklum dengan masalah teknis tersebut. Sedangkan Joshua tampak sangat kecewa dan kesal mengenai penampilan mereka yang kurang begitu sukses malam itu.


Entah akan seperti apa nasib Telefon Tel Aviv selanjutnya. Karena musik Telefon Tel Aviv tidak akan bisa seperti ini jika mereka berdua tidak saling melengkapi satu sama lain.

Di wawancara itu, saya sempat bertanya mengenai bagaimana proses terciptanya signature sounds dari Telefon Tel Aviv. Dan Joshua menjawabnya:

Pada dasarnya, saya membangun sesuatu dan Charlie merusaknya.

Yang saya bangun di suatu lagu biasanya sesuatu yang lebih teratur dengan tempo yang fix dan presisi. Sedangkan Charlie memperkenalkan ide-ide yang lebih chaos, bebas.

Sedangkan sebaliknya, jika Charlie datang dengan sesuatu yang terlalu longgar, saya yang mengikatnya. Jadi di satu sisi ada sebuah presisi dan keteraturan dalam musik kami, tapi di sisi lain ada banyak chaos juga.

Jadi tidak akan tercipta musik Telefon Tel Aviv yang seperti ini, jika kami berdua tidak melakukan hal itu. Ada yang menjadi otak kiri, dan ada yang menjadi otak kanan.


Selamat jalan Charlie...Kami semua akan merindukanmu.

April 12, 1977 - January 22, 2009


Monday, January 12, 2009

Catatan Perjalanan Dari Liburan Awal Tahun ke Ujung Genteng




Terkadang sesuatu itu lebih mengasyikkan jika dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Rasanya lebih spontan dan seru. Saya baru mengalaminya pada liburan awal tahun ini.


Awalnya

Sebenarnya saya dan pacar saya, Jane berkeinginan untuk pergi ke Batu Karas dengan beberapa teman di weekend pertama di tahun 2009 ini. Namun akhirnya rencana ini gagal setelah di hari pertama di tahun 2009, saya menelepon teman saya, Aldy yang kebetulan baru saja pergi ke Batu Karas dini harinya.

Saya menelponnya sekitar jam 12 siang, dan ia belum sampai ke Batu Karas saat itu. Padahal ia telah pergi dari jam 3 pagi. Harusnya perjalanan Bandung-Batu Karas hanya menghabiskan waktu kurang lebih enam jam. Ia masih terjebak macet di jalan sebelum pantai Pangandaran.

Daerah Pangandaran dan sekitarnya (termasuk batu karas) memang pasti ramai saat liburan seperti ini. Menurut info yang saya dapatkan dari Aldy, penginapan di Batu Karas sudah penuh semua. Ia saja dan dua orang temannya berencana akan tidur di mobil.

Berdasarkan laporan pandangan mata dari Aldy itulah, saya memutuskan untuk tidak jadi pergi ke Batu Karas.

Ok, batu karas sudah tidak jadi. Sempat bingung juga destinasi selanjutnya mau kemana. Yang pasti, saya dan Jane tidak ingin menghabiskan liburan kali ini hanya di Bandung/Jakarta saja.

Saya sempat kepikiran, berlibur ke Kepulauan Seribu. Tapi tidak jadi juga, karena tidak begitu banyak informasi mengenai Kepulauan Seribu yang bisa saya dapatkan di internet. Lagian dari foto-fotonya, tampaknya pantainya biasa saja.

Tiba-tiba, saya teringat kembali akan sebuah daerah pantai yang waktu itu saya dan teman-teman tidak jadi pergi kesana, yaitu Ujung Genteng. Saya lalu mengusulkan ke Jane untuk pergi kesana. Ia langsung menyetujui usulan saya, walaupun dia sebenarnya agak ragu, karena tidak ada satu pun dari kami yang pernah kesana. Tapi saya berhasil meyakinkan dia, karena saya bilang, “selama masih bisa dicari infonya di internet, jangan takut untuk pergi ke tempat yang sama sekali belum kita sambangi.” Hehe..


Persiapan Keberangkatan Yang Serba Mendadak

Karena tanggal 1 Januari kemarin adalah hari kamis dan sudah mendekati weekend, jadi siap atau tidak siap, kami harus berangkat besoknya. Kami akan berada di Ujung Genteng sampai hari minggu siang, karena senin sudah mulai masuk kerja kembali.

Persiapan perjalanan benar-benar serba mendadak. Ransum perbekalan baru saya beli malam harinya di supermarket terdekat. Itu juga belum semuanya. Sisanya saya berencana belanja perbekalan di Sukabumi. Sebelum berangkat, saya dan Jane lebih banyak mengumpulkan info apa saja mengenai Ujung Genteng.

Jadilah saya dan Jane di hari pertama di tahun 2009, seharian di kosan menghabiskan waktu untuk browsing-browsing mengenai Ujung Genteng. Mulai dari spot-spot menarik disana, angkutan yang dilalui dan yang paling penting menghitung budget.

Yang sedikit membedakan Ujung Genteng dengan pantai lainnya adalah spot-spot wisata yang ada jaraknya jauh-jauh dan rute yang ada hanya bisa dilalui oleh motor atau kalau niat, berjalan kaki.

Akibat dari rute yang jauh ini, budget ongkos selama disana belum bisa dihitung dengan pasti. Harga ojek rata-rata disana saya tidak tahu berapa. Lagian sepanjang apa rute perjalanan antar spot wisata juga masih belum terbayang.

Yang sudah pasti, menurut info yang saya dapatkan di internet, harga penginapan di sana lumayan mahal. Rata-rata 250 sampai 600 ribu semalam. Harga penginapan ini sangat jauh dibandingkan penginapan di Batu Karas yang masih tersedia dengan harga di bawah 100 ribu.

Sepertinya menginap di penginapan-penginapan tersebut bukan menjadi agenda kami berdua.

Namun pekerjaan rumah kami selanjutnya adalah mencari tempat untuk tidur. Rencana kami mungkin akan menginap di salah satu rumah penduduk disana seperti salah satu cerita salah seorang yang pernah bagpacking ke Ujung Genteng yang kami baca di internet.

Kami memang memutuskan untuk bagpacking saja ke Ujung Genteng karena budget kami terbatas. Lagipula yang pergi hanya saya dan Jane, mau patungan juga biayanya pasti masih besar karena cuma berdua. Hehe..

Oh iya, di hari saya memutuskan untuk pergi ke Ujung Genteng, saya sempat mengajak beberapa teman. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang mau ikut pergi. Alasan paling umum yang saya dapatkan karena ajakan saya tersebut sangat mendadak. Saya bisa maklumi.

Akhirnya saya berangkat ke Ujung Genteng hanya berdua saja sama Jane. Dipikir-pikir, saya ternyata belum pernah pergi liburan berdua saja dengannya. Selama ini selalu ramai-ramai bersama teman atau juga pergi bersama kakaknya. Kalau kata Jane, anggap saja perjalanan backpacking ini sebagai latihan untuk mengikuti Amazing Race. :D


Hari H/ Keberangkatan

Di pagi hari di hari H, sesaat sebelum kami berangkat, saya menyempatkan diri untuk mengeprint peta Ujung Genteng dan sekitarnya untuk panduan disana yang untungnya tersedia di website khusus Ujung Genteng buatan bapak Petrus.

Bapak Petrus ini bukanlah orang lokal Ujung Genteng, namun ia selalu mempromosikan daerah tersebut ke banyak orang. Ia yang membuat website Ujung Genteng yang berisi banyak informasi seperti peta, foto-foto spot wisata yang tersedia dan juga kumpulan cerita-cerita dari orang-orang yang sudah mengunjungi Ujung Genteng.

Di website tersebut, tercantum nomer hp bapak Petrus. Saya sempat menelponnya dan bertanya sedikit mengenai situasi disana.

Perjalanan dari Bandung dimulai dari terminal bis Leuwi Panjang. Kami naik bis AC Langgeng Jaya jurusan Bandung Sukabumi. Bis meninggalkan terminal pukul 8 pagi dan sampai di Sukabumi pukul 11.30. Dari situ, kami harus ke naik angkot ke terminal Lembur Situ. Dan dari terminal Lembur Situ, kami harus naik bis atau elf ke kota Surade, kota terdekat dengan Ujung Genteng.

Sebelum naik angkot ke terminal selanjutnya, kami memutuskan untuk belanja sisa perbekalan dulu di Jogja Departemen Store yang kebetulan dekat dengan tempat kami turun bis.

Hari semakin siang, rasa lapar mulai menghinggapi kami berdua. Lalu kami membeli makan di KFC yang memang berada di satu areal dengan Jogja Departemen Store tersebut. Karena waktu yang semakin mepet, kami membungkus KFC tersebut dan rencananya akan memakannya di dalam bis selama perjalanan ke Surade.

Menurut info yang kami peroleh dari internet dan orang-orang yang kami tanyai di Sukabumi, angkot dari Surade ke Ujung Genteng hanya tersedia sampai pukul 4 sore. Sedangkan perjalanan dari Sukabumi ke Surade menghabiskan waktu kurang lebih 3 setengah jam. Dan saat itu, sudah hampir pukul 1, dan kami pun belum berangkat.

Akhirnya kami kembali naik bis Langgeng Jaya tapi kali ini non AC. Perjalanan dari Sukabumi ke Surade inilah yang membuat kami dari yang sebelumnya lapar menjadi tidak berselera. Karena situasi jalan yang sangat berkelok-kelok.

Bayangkan puncak dengan rute lima kali lebih rumit, dan itu harus dilalui selama kurang lebih tiga setengah jam.

Pukul setengah lima sore, kami sampai di kota Surade. Kami sudah pasrah karena sudah jam segitu, angkot sudah tidak ada. Angkutan yang tersedia setelah jam 4 sore hanyalah ojek. Mau jalan juga tidak mungkin karena rute Surade-Ujung Genteng sepanjang 22 km. Sempat terpikir untuk menebeng mobil bak atau menghentikan mobil yang lewat yang menuju Surade, tapi itu tidak pasti. Tidak tahu juga akan menghabiskan waktu berapa lama. Sedangkan kami takut akan kehilangan moment sunset di pantai yang akan kami kunjungi.

Saya dan Jane juga sempat berdiskusi cukup lama di Surade ketika ingin menentukan pantai mana yang ingin kami kunjungi terlebih dahulu, mengingat waktu tiba kami yang sudah terlalu sore. Akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan sunset di pantai Pangumbahan. Karena di pantai itu, malamnya kami ingin melihat penyu yang bertelur.

Tujuan berikutnya sudah jelas, sekarang tinggal bagaimana kami menuju ke pantai pengumbahan. Ojek pun menjadi satu-satunya pilihan.

Ternyata pantai Pangumbahan jaraknya lebih jauh lagi daripada pantai Ujung Genteng. Setelah terjadi proses tawar menawar yang cukup alot, akhirnya sepakat dengan tarif 70 ribu berdua menuju pantai Pangumbahan.Photobucket

Perjalanan dari Surade ke pantai Pangumbahan menghabiskan waktu sekitar 45 menit. Semakin mendekati pantai Pangumbahan, rutenya juga semakin sulit dengan jalan setapak yang becek dan dipenuhi oleh tumbuhan liar. Photobucket


Tiba di Pantai Pangumbahan dan Berkenalan Dengan Mang Apet

Pukul enam sore akhirnya kami tiba di pantai Pangumbahan. Untungnya matahari belum sepenuhnya tenggelam. Sembari menikmati sunset dan sedikit foto-foto, perut kami yang sudah keroncongan sedari tiba di Sukabumi siang tadi akhirnya diisi oleh KFC yang sebenarnya kami beli untuk makan siang.
Photobucket

Kami duduk di tepi pantai, persis di depan penginapan bernama Cowboy. Sampai detik itu, kami belum tahu akan menginap dimana. Saya lalu bertanya kepada orang yang kebetulan baru saja keluar dari penginapan cowboy tersebut mengenai harga kamarnya. Dan ternyata harganya sama saja dengan penginapan-penginapan lain di Ujung Genteng.

Jadi bisa dipastikan, kami tidak akan bermalam di penginapan tersebut.

Matahari berangsur-angsur tenggelam. Berarti sudah waktunya kami beranjak ke tempat penangkaran penyu untuk melihat penyu bertelur di malam hari. Menurut info yang saya dapat, tempat penangkaran penyu berada di sekitar pantai Pangumbahan, namun saya tidak tahu persisnya dimana.

Saya lalu bertanya kepada seseorang yang sedang duduk tidak jauh dari kami mengenai lokasi penangkaran penyu tersebut. Ia lalu menunjukkan lokasinya yang ternyata tidak begitu jauh dari tempat kami duduk-duduk saat itu.

Ia kemudian bertanya, dimana kami menginap. Saya lalu menjawab, kami belum menemukan tempat penginapan. Saya iseng bertanya, apakah tempat penangkaran penyu tersebut bisa diinapi atau tidak. Ternyata bisa, dan, orang itu bisa mengurusnya.

Katanya orang-orang di kantor tempat penangkaran penyu tersebut adalah teman-temannya. Masalah uang gampang katanya. Yang pasti tidak akan sebesar tempat-tempat penginapan biasanya. Saya sih percaya saja.

Akhirnya kami dan mang Apet – nama orang tersebut- sepakat untuk pergi bersama-sama ke tempat penangkaran penyu.

Mang Apet adalah orang lokal di sana. Ia dulu sempat bekerja di Bandung, namun sekarang sudah berhenti. Kini ia kembali ke kampung halamannya di Ujung Genteng dan bekerja serabutan kesana kemari.


Menuju Penangkaran Penyu

Ketika saya dan Jane sedang bersiap untuk menuju tempat penangkaran penyu, Jane menyadari ada seseorang yang dari tadi nampak duduk sendiri tidak jauh dari tempat kami duduk, dengan ranselnya yang besar sembari mendengarkan lagu dari ponselnya.

Jane berasumsi, mungkin orang tersebut sama-sama backpacker seperti kami.

Lalu Jane berinisiatif menyapa pemuda tersebut. Kami lalu berkenalan. Ternyata ia berasal dari Bandung. Sebelum ke Ujung Genteng, ia baru dari Pelabuhan Ratu, setelah sebelumnya menghabiskan hari-hari di akhir tahun 2008 dengan bermain surfing di pantai Cimaja.

Saya bertanya ia menginap dimana. Menurut pengakuannya, ia ingin bermalam di tepi pantai saja dengan sleeping bag. Karena besok paginya, ia ingin ke pantai Ombak Tujuh yang memang terkenal sebagai pantai para surfer.

Saya lalu mengajaknya bermalam bersama di tempat penangkaran penyu. Ia setuju. Kemudian saya dan Jane bersama si pemuda itu (sampai saya menulis ini, saya lupa namanya) dan juga mang Apet menuju ke tempat penangkaran penyu sekitar pukul 7 malam, menyusuri pasir-pasir putih di tepi pantai Pangumbahan.

Sekitar 15 menit, kami telah sampai ke tempat penangkaran penyu tersebut. Suasananya cukup ramai dipenuhi oleh berbagai orang yang ingin melihat penyu-penyu bertelur.

Jadi para pengunjung memang diharuskan untuk berkumpul terlebih dahulu di areal kantor tempat penangkaran penyu, sebelum diperbolehkan oleh petugas untuk menuju pantai melihat penyu bertelur. Semua itu harus ditaati demi kelancaran proses bertelur dari penyu-penyu tersebut.

Saya dan Jane serta si surfer (karena lupa namanya, saya menulis namanya si surfer saja) diperkenalkan oleh Mang Apet kepada pengurus dari penangkaran penyu tersebut. Saya meminta ijin untuk menginap disana. Dan untungnya diperbolehkan.

Menurut pengakuan mang Apet, sebenernya kantor tersebut tidak memperbolehkan orang luar untuk menginap disitu, kecuali kerabat atau kenalan para pengurusnya. Kami bertiga diakui oleh mang Apet sebagai temannya. Maka dari itu, kami diijinkan menginap. Walaupun mang Apet juga sebenarnya bukanlah pengurus dari tempat penangkaran penyu tersebut. Ia hanya suka nongkrong disana.

Ruang kantor yang kami inapi cukup besar. Ada beberapa kamar dan sebuah kamar mandi dengan pintunya yang rusak. Di ruang tengahnya, ada beberapa kasur kapuk tanpa sprei tergelar di lantai. Itu adalah kasur tempat kami tidur. Untungnya kami bertiga tidak ada yang mempermasalahkan betapa seadanya kondisi tempat kami menginap. Yang penting kami bisa tidur.

Biasanya kasur-kasur tersebut menjadi tempat beristirahat dari para penjaga penangkaran penyu yang jadwal kerjanya dari pukul enam sore hingga pukul enam pagi. Biasanya para penyu naik ke pantai mulai pukul delapan hingga subuh. Para petugas harus terus berjaga selama itu untuk mengumpulkan telur-telur dan mengawasi hingga telur-telur tersebut menetas. Dan pada pukul 6 pagi, para bayi penyu tersebut kemudian dilepas ke laut.


Melihat Penyu Bertelur

Sekitar pukul 9 malam, petugas memberi tahu bahwa pengunjung sudah boleh beranjak ke tepi pantai karena penyu-penyu sudah bertelur. Saya, Jane serta si surfer segera beranjak ke pantai. Disana, kerumunan orang sudah mengelilingi penyu-penyu yang sudah bertelur. Photobucket Para petugas dengan sigap langsung mengambil telur-telur tersebut dan menaruhnya di sebuah ember besar.

Selama kurang lebih dua jam kami berada di pantai. Dan selama itu, sekitar tiga sampai empat penyu bertelur. Menurut petugas, periode penyu naik ke pantai untuk bertelur dimulai dari bulan Juli hingga bulan Februari setiap tahunnya. Semakin dekat dengan bulan Februari, frekuensi penyu yang bertelur semakin sedikit. Untungnya, kami pergi di bulan yang tepat dan masih bisa melihat para penyu tersebut bertelur.

Selama di pantai, saya dan Jane tidak melulu melihat penyu bertelur. Kami lebih banyak duduk-duduk saja, menikmati semilir angin pantai di malam hari sembari melihat bintang-bintang yang bertebaran dengan semarak di langit.

Saya malah sempat ketiduran di pantai karena udara yang sejuk dan fisik yang letih. Jane membangunkan saya untuk segera balik ke “penginapan” kami. Hehe

Sesampainya disana, suasana masih ramai dengan pengunjung yang ingin melihat penyu. Ojek-ojek silih berganti mengantar para pengunjung.

Persis di teras depan ruangan tempat kami tidur, ada sebuah warung kecil yang menjual aneka minuman hangat dan makanan kecil. Saya dan Jane lalu memesan popmie dan kopi sembari mengobrol dengan si surfer di teras depan itu.

Waktu menunjukkan hampir pukul satu dini hari, kami pun tidur. Karena besok pagi, pukul 6, kami semua ingin melihat pelepasan bayi-bayi penyu ke laut.


Hari Kedua

Pukul setengah enam pagi, kami bertiga bangun. Lalu bersiap menuju pantai untuk melihat pelepasan bayi penyu. Lucu juga melihat bayi-bayi penyu itu berjalan dengan tertatih-tatih menuju laut.

Tidak begitu lama kami bertiga menghabiskan waktu di pantai. Karena kami semua sudah mempunyai agenda masing-masing. Si surfer akan berangkat ke pantai ombak tujuh. Sedangkan saya dan Jane juga akan berjalan kaki menuju pantai Ujung Genteng.

Mang Apet yang memang malamnya sudah janjian dengan si surfer untuk mengantarnya dengan motor sampai ke lokasi terdekat dengan pantai Ombak Tujuh, telah datang ke tempat penangkaran penyu.

Rencananya mang Apet akan mengantar dan menjemput kembali si surfer di lokasi yang telah mereka tentukan. Pukul 3 sore adalah waktu yang mereka sepakati. Si surfer berencana akan langsung balik ke Bandung sore itu juga.

Saya lalu meminta mang Apet untuk menjemput saya dan Jane di pantai Ujung Genteng pukul 4 sore, setelah mang Apet menjemput si surfer. Saya dan Jane berencana ingin menghabiskan sunset di pantai Cipanarikan, sebuah areal pantai yang katanya tidak jauh dari pantai Pangumbahan. Saya juga meminta mang Apet sekalian mengantar kami berdua ke sana.


Perjalanan Menuju Pantai Ujung Genteng

Pukul delapan pagi, saya dan Jane memulai perjalanan ke pantai Ujung Genteng yang berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari pantai Pangumbahan. Kami melalui jalan di pesisir pantai. Photobucket

Belum berapa kami kami berjalan, tiba-tiba hujan turun. Kami berdua segera berteduh di salah satu rumah penduduk yang berada di tepi pantai. Selama menunggu kami mengobrol dengan ibu pemilik rumah.

Kurang lebih 45 menit, akhirnya hujan berhenti dan kami kembali melanjutkan perjalanan ke Ujung Genteng.

Sepanjang perjalanan, kami berdua terus foto-foto. Agak susah ya ternyata pergi hanya berdua, karena tidak ada yang bisa mengambil gambar kami berdua. Semua foto harus dilakukan sendiri atau gantian. Hehe..

Di tengah perjalanan, kami sempat berenang di sebuah pantai yang baru kami ketahui bernama Cibuaya. Cukup lama juga kami berdua bermain air disana. Setelah puas, kami kembali melanjutkan perjalanan.Photobucket

Pemandangan sangat indah kami dapatkan selama perjalanan. Hamparan pasir putih dengan air laut yang begitu jernih. Photobucket Beberapa kali kami juga melihat sekawanan sapi di pinggir pantai. Sesekali juga kami beristirahat, sekedar duduk dan merokok serta minum sembari menikmati keindahan pantai.

Kami sebenarnya tidak mengetahui dengan pasti, apa tanda-tandanya bahwa kami telah sampai di pantai Ujung Genteng. Namun kami mulai menyadari bahwa kami telah sampai di pantai Ujung Genteng ketika kami melewati beberapa penginapan seperti pondok Adi, ataupun penginapan Hexa yang namanya sering kami baca di internet.

Saat itu, waktu sudah menunjukkan kurang lebih pukul 12 siang. Dan kami terus berjalan dan berjalan. Kami sebenarnya tidak mempunyai rencana pasti akan mau melakukan apa ketika telah sampai di pantai Ujung Genteng.


Makan Siang di Rumah Penduduk di Pantai Ujung Genteng

Tiba-tiba kami merasa perut sudah mulai keroncongan.Sudah waktunya makan siang. Mau makan siang dimana, kami belum tahu. Yang pasti kami merasa karena sedang berada di pantai, jadi menunya harus seafood. Hehe..

Saya lalu teringat, sebuah info yang saya baca di internet, ada sebuah pelelangan ikan di Ujung Genteng.

Saya lalu bertanya dimana lokasi pelelangan ikan kepada seorang bapak yang sedang duduk di bale-bale rumahnya yang langsung menghadap ke pantai. Kata bapak itu, pelelangan ikan masih terus lagi. Ia menyarankan lebih baik naik ojek saja menuju kesana daripada harus berjalan lagi di bawah matahari yang sedang terik-teriknya bersinar.

Kami pun berpikiran sama dengan bapak tersebut. Rasanya malas harus berjalan lagi dengan kondisi yang tengah lapar dan matahari yang sangat menyengat. Bapak itu juga menawarkan jasa memasak di rumahnya. Jadi saya tinggal beli ikan saja, dan istrinya yang akan memasaknya.

Tawaran yang menarik. Tidak pikir panjang, saya lalu menyetujui tawaran si bapak. Akhirnya si bapak mencarikan ojek untuk kami.

Hanya sekitar sepuluh menit kami telah sampai di tempat pelelangan ikan. Jane lalu yang bertugas memilih ikan mana yang akan kami beli. Saya sendiri terserah mau makan ikan apa saja. Kami pun balik ke rumah si bapak dengan membawa ikan sebanyak tiga ekor.

Istri si bapak menyambut kami, lalu ia mulai membersihkan ikan yang kami beli tersebut untuk kemudian membakarnya. Photobucket Si ibu juga menanak nasi untuk kami. Dan juga ia membuat sambal untuk teman memakan ikan bakar.

Selagi menunggu si ibu membakar ikan, saya dan Jane duduk-duduk di bale-bale rumah si bapak yang langsung menghadap laut. Jane sibuk melihat-lihat foto yang telah diambil di hpnya. Sesekali ia juga menyempatkan diri mengecek facebook melalui hpnya. Photobucket

Sementara kami menunggu, ada dua anak kecil yang sedang bermain sepeda. Kemudian saya iseng menghampiri mereka dan meminta ijin untuk meminjam sepeda mereka untuk berkeliling di sekitar rumah si bapak. Mereka mengijinkan kami. Lalu saya dan Jane berkeliling di areal pantai di depan rumah si bapak dengan bersepeda. Cukup mengasyikkan juga bersepeda di pasir pantai.Photobucket

Tidak berapa lama, hidangan ikan bakar siap untuk disantap. Awalnya kami merasa ikan-ikan yang kami beli tadi kebanyakan. Namun akhirnya, semua ikan tersebut habis juga kami santap. haha

Perut kenyang, badan letih. Rasa kantuk pun segera datang. Si bapak yang melihat gelagat kami, langsung memberikan dua buah bantal untuk kami tiduri. Dia mempersilahkan kami untuk beristirahat di bale-bale rumahnya yang sangat nyaman itu. Jane lalu tertidur. Sedangkan saya mencari colokan listrik untuk hp Jane yang sudah low batt.

Hp Jane ini adalah alat dokumentasi utama kami. Kami berdua tidak punya kamera digital. Saya hanya membawa sejumlah kamera analog dengan film yang terbatas. Jadi memang untuk foto-foto kami banyak menggunakan kamera di hp Jane. Kebetulan juga kualitas gambar di hp Sony Ericsson milik Jane jauh lebih baik dibandingkan kamera di hp Nokia saya.

Karena colokan listrik di rumah si bapak tidak berfungsi, saya lalu mencari colokan listrik di rumah sebelah.

Rumah sebelah ternyata adalah sebuah warung yang didesain menyerupai sebuah pub dengan bar dan bangku-bangku tinggi. Saya meminta ijin untuk menumpang mengecharge hp milik Jane.

Sang pemilik memberitahu saya bahwa disitu juga bisa karaoke. “Karaokenya sehat tapi, mas” begitu sang pemilik mempromosikan tempatnya kepada saya.

Di menu yang terpajang di atas bar, ada nama-nama merk minuman keras terkenal. Minuman-minuman tersebut juga dijual disana. Namun saat itu, stoknya lagi habis karena telah laku saat tahun baruan kemarin.

Saya tertarik membeli bir, namun bir yang tersedia hanya merk Angker. Dan saya tidak begitu menyukai merk tersebut. Menurut pengakuan si pemilik, bir yang tersedia di Ujung Genteng hanyalah merk Angker. Karena suppliernya hanya menyediakan merk Angker. Agak aneh juga.

Saya lalu membaca lagi menu yang terpajang di atas bar. Dan saya menemukan anggur merah. Anggur merah cap Orang Tua yang biasanya hanya dijual sekitar 12 ribu, disana dijual dengan harga 20 ribu. Jadinya, saya membeli anggur merah tersebut. Rencananya akan saya nikmati saat sunset di pantai Cipanarikan.

Kurang lebih setengah jam, saya membangunkan Jane yang sudah tertidur di bale-bale rumah si bapak. Kemudian saya membayar ongkos memasak kepada si ibu sebesar 20 ribu. Kami pun pamit pergi.

Karena tadi belum puas bermain air, kami lalu menuju laut kembali. Kami berenang tidak jauh dari lokasi rumah si bapak. Setelah setengah jam lebih, kami melanjutkan perjalanan.


Dermaga Tua

Tujuan berikutnya, kami akan mengunjungi dermaga tua yang letaknya tidak jauh dari tempat pelelangan ikan. Kami lalu berjalan kembali menyusuri pinggir pantai.

Dermaga tua tersebut adalah dermaga peninggalan Belanda yang telah rusak. Kini hanya reruntuhannya saja yang masih tersisa. Disitu kami kembali foto-foto. Photobucket

Reruntuhan dermaga tua ini terbagi dua dan masing-masing dipisahkan oleh air laut. Saya dan jane sempat mencoba untuk berjalan ke reruntuhan yang satu lagi yang berada agak di tengah laut. Namun di tengah perjalanan, kami mengurungkan niat tersebut. Karena di dasar laut banyak batu-batuan yang penuh lumut dan sangat licin untuk dilalui. Jadi daripada celaka lebih baik kami tidak mencobanya.

Pukul lima sore, kami beranjak dari dermaga menuju sebuah tempat yang telah disepakati untuk mang Apet menjemput kami. Namun ternyata, Mang Apet sudah menunggu kami dengan motornya di ujung dermaga. Memang mang Apet sangat mengerti kami. :D

Sunset di Pantai Cipanarikan

Dengan motor RX King milik mang Apet, kami sekarang menuju ke pantai Cipanarikan untuk menikmati sunset. Menurut mang Apet, letak pantai Cipanarikan tidak begitu jauh dari pantai pangumbahan, tempat kami menginap.

Setelah melalui pantai pangumbahan, rute perjalanan semakin menantang. Terkadang motor yang kami tumpangi menembus semak-semak. Dan jalan becek yang sebelumnya memang biasa kami lewati, semakin merajalela di rute menuju pantai Cipanarikan.

Akhirnya kami sampai di Cipanarikan. Namun tidak langsung pantai yang kami temui. Malah sebuah hutan. Mang Apet menyuruh kami untuk jalan sedikit lagi untuk menuju pantai. Karena memang rutenya tidak bisa dilalui oleh motor.

Kami lalu berjalan di jalan setapak di dalam hutan. Di tengah perjalanan, secara mengejutkan Jane bertemu salah seorang teman kampusnya yang bernama Echa. Ia baru saja mau balik dari pantai Cipanarikan. Perjalanan terhenti sejenak karena Jane sedikit berbincang-bincang dengan Echa. Kebetulan Echa akan mengunjungi pantai Pangumbahan untuk melihat penyu di malam harinya. Jadi Jane bisa bertemu kembali dengannya.

Kami kembali berjalan, dengan kondisi jalan yang sedikit menanjak. Saya sempat berpikir, mau ke pantai kok jalannya menanjak.Ternyata jawabannya segera saya dapatkan. Perjalanan berakhir ketika kami akhirnya sampai di ujung bukit dan pantai cipanarikan berada tepat di bawahnya.

Pantai Cipanarikan menurut saya seperti pantai tersembunyi. Berada di balik hutan dan perbukitan. Photobucket

Keindahan pantai ini sangat mempesona bagi saya. Hamparan pasir putihnya sangat luas. Jauh lebih luas dari pantai-pantai di Ujung Genteng yang tadi saya lalui.Photobucket

Saya membayangkan jika ada EO yang ingin membuat rave party yang betul-betul keren, mereka harus membuatnya di pantai ini.haha..Pantai Cipanarikan rasanya bisa untuk menampung ratusan orang.

Di sisi kanan pantai Cipanarikan, terdapat sebuah muara atau sungai. Benar-benar sebuah pemandangan yang sangat indah. Photobucket

Ketika kami sampai di pantai itu, keadaan pantai benar-benar sepi. Selain kami, hanya ada sekelompok anak muda lain yang terdiri dari lima orang. Jadi saat itu, saya merasa sedang berada di pantai pribadi. ;)

Matahari terus beranjak tenggelam. Kami hanya duduk dan menikmati keindahannya sembari tak lupa meminum ‘wine’ yang telah saya beli tadi. Oh iya, ombak di pantai Cipanarikan cukup besar, jadi memang tidak ada orang yang berani untuk bermain air disana.Photobucket

Kami berada di pantai Cipanarikan sampai matahari benar-benar tenggelam. Di kejauhan, saya melihat mang Apet sudah menunggu kami di atas bukit untuk mengantar kami pulang ke tempat penangkaran penyu.


Malam Kedua Melihat Penyu Bertelur

Sesampainya di penangkaran penyu, kami disambut oleh Echa yang tadi ketemu di pantai Cipanarikan. Jane lalu mengobrol dengan Echa sembari menunggu petugas mempersilahkan para pengunjung untuk melihat penyu bertelur.

Sedangkan saya mengobrol dengan Mang Apet dan beberapa pengunjung lainnya yang sedang menunggu untuk melihat penyu. Saya banyak bertanya kepada mereka mengenai info spot-spot wisata yang akan kami kunjungi besok. Biar ada sedikit gambaran pasti.

Pukul sepuluh malam, petugas memberi tahu bahwa penyu sudah bertelur dan pengunjung sudah diperbolehkan ke pantai untuk melihat.

Untuk kedua kalinya, kami melihat penyu-penyu bertelur. Namun kali ini, saya
membawa sebuah senter besar yang dipinjamkan mang Apet kepada saya. Jadi kali ini, saya dan Jane bisa mengabadikan penyu-penyu tersebut. Karena malam sebelumnya kami sama sekali tidak bisa mengabadikan penyu-penyu itu karena hp Jane yang biasa digunakan untuk memotret tidak memiliki flash. Jadi senter milik mang Apet malam itu sangat membantu kami untuk mengabadikan sang penyu.

Setelah melihat penyu bertelur, lagi-lagi kami duduk-duduk di pinggir pantai menikmati bintang-bintang yang malam itu jauh lebih banyak dibandingkan malam sebelumnya. Sedangkan Echa, teman kuliah Jane telah lebih dulu balik ke penginapannya di pantai Ujung Genteng.

Pukul 11 malam, kami balik ke penangkaran penyu. Lalu kami masing-masing mandi dan bersiap untuk segera tidur. Besok hari kami akan balik ke Bandung.

Sebelumnya kami sudah membuat janji dengan mang Apet untuk mengantar kami pagi-pagi sekali ke pantai Ujung Genteng. Karena angkutan umum yang menuju Surade hanya melewati pantai Ujung genteng saja.

Hari terakhir di liburan ini kami berencana untuk mengunjungi villa Amanda Ratu dan Curug Cikaso, dua tempat yang sebenarnya mau kami kunjungi terlebih dahulu ketika tiba di Surade hari Jumat kemarin.


Hari ketiga

Pukul enam pagi kami bangun. Sebelum pulang kami juga menyempatkan diri ke pantai terlebih dahulu untuk melihat pelepasan penyu. Namun karena sebelumnya kami packing dulu, ketika kami sampai di pantai, semua bayi penyu telah dilepas ke laut. Akhirnya kami foto-foto saja di pantai Pangumbahan sebelum pulang.

Mang Apet mengantar kami sampai pada jalan masuk utama ke pantai Ujung Genteng yang biasa dilewati angkot. Akhirnya kami berpisah dengan Mang Apet. Tidak lupa saya memberikan ongkos jasa untuk dirinya yang amat membantu kami selama tiga hari ini. Kebetulan anggur merah yang saya beli kemarin juga belum habis. Jadi saya memberikannya juga ke mang Apet.

Angkot yang ditunggu tidak berapa lama tiba. Sekitar pukul 9 pagi kami berangkat menuju Amanda Ratu.


Villa Amanda Ratu

Amanda ratu adalah sebuah penginapan dengan view yang menarik. Villa ini terkenal dengan viewnya yang katanya mirip-mirip tanah lot Bali. Villa ini terletak di tengah-tengah perjalanan dari Ujung Genteng menuju Surade.

Sebenarnya pagi itu, saya pribadi sempat ragu untuk berkunjung kesana. Saya takut sepulangnya dari Amanda Ratu, kami harus menunggu lama lagi untuk naik angkot menuju Surade. Karena sejauh pengamatan saya, angkot dari Ujung Genteng ke Surade tidak banyak yang beroperasi. Tapi saya segera membuang jauh-jauh keraguan saya itu.

Sekitar 30 menit perjalanan dari Ujung Genteng, kami tiba di villa Amanda Ratu.

Dari gerbang depan, kami harus berjalan sekitar 10 menit untuk sampai ke bagian dalam villa ini yang langsung berhadapan dengan view ala tanah lot itu.

Villa Amanda Ratu adalah penginapan termewah di sekitar areal Ujung Genteng. Dengan bungalow-bungalow yang besar, dan fasilitas seperti kolam renang dan taman bermain untuk anak-anak.

Pemandangan yang seperti tanah lot Bali itu memang benar adanya. Tidak kalah sih menurut saya seperti di Bali. Hehe..Kami pun langsung mengabadikan banyak gambar disana. Photobucket

Walaupun menyajikan view yang cantik, Amanda Ratu tidak memiliki pantai. Jadi hanya laut dan batu karang di pinggirnya. Ombak di Amanda Ratu menurut saya cukup besar. Jadi memang tidak ada orang yang berani mendekat ke laut.

Sekitar satu jam kami menghabiskan waktu di villa Amanda Ratu. Pukul sepuluh pagi, kami meninggalkan villa Amanda Ratu.Photobucket


Curug Cikaso

Tujuan berikutnya, curug Cikaso. Curug ini adalah satu dari sekian curug yang ada di sekitar Ujung Genteng.

Tujuan terakhir ini bagi kami penuh dengan pertimbangan. Lagi-lagi ada keraguan yang menghantui kami.

Alasan pertama karena waktu sudah semakin siang, kami takut untuk ketinggalan bis dari Surade menuju Sukabumi yang katanya shift pertamanya hanya sampai jam 2 siang. Shift kedua baru dimulai malam hari. Sedangkan kami tidak mungkin pulang dari Surade baru malam hari. Mau sampai jam berapa di Bandung. Kami juga tidak tahu lama perjalanan yang dihabiskan dari jalan raya Cikaso menuju curugnya.

Alasan kedua: perjalanan dari perkampungan warga terdekat menuju Curug, biasanya harus dilalui dengan naik sampan. Dan menurut info yang kami dapat, pulang pergi naik sampan bisa menghabiskan biaya sampai sebesar 80 ribu.

Tapi ada juga yang mengatakan, sebenarnya perjalanan ke Curug bisa dilalui dengan berjalan kaki, hanya 15 menit. Namun biasanya penduduk lokal disana seperti memaksa pengunjung untuk menaiki sampan. Sekarang tinggal bagaimana caranya untuk menolak tawaran naik sampan itu.

Untungnya mang Apet sempat memberitahu kami nama seorang kenalannya yang berprofesi sebagai tukang ojek di pertigaan jalan raya Cikaso. Mang Apet menyuruh kami untuk mencari orang tersebut, agar bisa memudahkan kami untuk pergi ke curug dengan hanya berjalan kaki.

Akhirnya kami dari Surade naik angkot lagi yang menuju jalan raya Cikaso. Dari disitu, persis di pertigaannya, ada beberapa tukang ojek yang mangkal.

Perjalanan dari jalan raya Cikaso menuju ke perkampungan warga yang terdekat dengan curug, tidak dilalui oleh angkutan umum. Jadi kalau tidak ada kendaraan pribadi seperti kami berdua, mau tidak mau harus naik ojek.

Saya langsung mencari kenalannya mang Apet disana. Untung orangnya ada. Setelah mengobrol sejenak dengannya, akhirnya ia sepakat untuk membantu kami agar kami tidak diharuskan untuk naik sampan. Ia dan seorang temannya yang mengantar kami sampai ke perkampungan warga terdekat dan dari situ, mereka juga yang mengantar kami berjalan kaki menuju curug.

Perjalanan dari jalan raya Cikaso menuju perkampungan warga menghabiskan waktu sekitar setengah jam.

Setelah sampai di perkampungan warga terdekat, para tukang ojek tersebut sedikit berbincang dengan warga lokal sana. Saya dan Jane lalu menitipkan tas dan barang-barang bawaan kami di salah satu rumah penduduk disana yang memang biasa menjadi tempat perhentian sebelum menuju curug.

Lalu kami dan dua orang tukang ojek tersebut akhirnya berjalan kaki menuju curug.

Perjalanan darat ini rutenya cukup sulit untuk dilalui. Kami melalui jalan-jalan setapak dan melewati pematang sawah. Photobucket

Di sisi kiri terdapat sungai dengan airnya yang hijau. Hijau disini bukan berarti airnya kotor. Airnya sangat jernih. Sangking jernihnya, batu-batu di bawahnya yang penuh lumut bisa dengan jelas terlihat. Warna hijau itu didapat dari pantulan warna lumut yang ada di batu.Photobucket

Setelah kurang lebih 15 menit berjalan kaki, kami tiba di curug Cikaso.

Pemandangannya sangat menakjubkan. Ada tiga air terjun besar yang berdampingan. Di bawah air terjun, beberapa orang bermain air. Saya jadi tidak sabar untuk segera berenang disitu. Photobucket

Setelah saya masuk ke dalam air, ternyata airnya cukup dalam. Tadinya Jane mau ikut bermain air juga. Tapi akhirnya mengurungkan diri ketika mengetahui airnya cukup dalam. Kebetulan Jane tidak bisa berenang. Jadi ia hanya duduk-duduk saja di batu besar yang ada di sekitar air terjun.Photobucket

Kurang lebih satu jam kami menghabiskan waktu di Curug Cikaso. Sudah waktunya untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Para tukang ojek itu lalu membawa kami kembali ke pertigaan jalan raya Cikaso, tempat tadi kami turun dari angkot. Saya lalu membayar ongkos kepada mereka dengan sedikit nego-nego. Hehe..

Sebelum mencegat bis yang menuju Sukabumi, saya dan Jane makan siang terlebih dahulu di sebuah rumah makan di pinggir jalan raya Cikaso. Setelah itu, baru kami bersiap mencegat bis yang menuju Sukabumi.

Cukup lama waktu yang dihabiskan untuk menunggu bis yang menuju Sukabumi. Mungkin sekitar setengah jam kami menunggu sampai akhirnya bis (lagi-lagi) Langgeng Jaya lewat di depan kami. Kami pun segera naik untuk menuju Sukabumi dan langsung melanjutkan bis ke arah Bandung.


Akhirnya

Perjalanan liburan kali ini benar-benar sangat menyenangkan. Sebuah perjalanan yang kami rancang begitu mendadak namun bisa terlaksana dengan lancar.

Sesampainya di Bandung, saya dan Jane jadi terpikir untuk melakukan perjalanan liburan seperti ini lagi ke depannya. Mungkin tujuan berikutnya Karimun Jawa. Ada yang mau ikut? :p


Ini adalah sebagian foto yang saya dan jane abadikan melalui kamera hp miliknya. Hasil dari kamera-kamera analog saya segera menyusul. :D