Thursday, August 31, 2006

Potret Idola Indonesia




Indonesian Idol baru saja menghasilkan satu
lagi idola baru. Idola itu bernama Ihsan. Seorang pemuda berusia 17 tahun,
berasal dari Medan. Lahir dari orangtua yang berprofesi sebagai tukang becak. Ihsan
sendiri sehari-harinya seusai pulang sekolah, menghabiskan waktunya di ladang
untuk sekedar membantu penghasilan keluarganya. Cangkul di tangan dan bulir-bulir
keringat yang membasahi wajahnya karena terik matahari sudah menjadi santapannya
sehari-hari. Tunggu dulu, saya lagi bercerita mengenai acara Indonesian Idol
atau acara Uang Kaget? Maaf kalau menjadi kabur. Kebetulan idola baru Indonesia
kali ini mempunyai latar belakang kehidupan yang bisa mengundang simpati dari
banyak orang di Indonesia. Tidak berbeda jauh dari profil masyarakat yang
diberi limpahan rejeki di tayangan Uang Kaget yang juga ditayangkan oleh RCTI.





Saya bukannya tidak berperasaan dengan orang
yang mempunyai kehidupan ekonomi yang memprihatinkan, tetapi jika kehidupan itu
diangkat ke layar kaca dengan porsi serta melalui acara yang tepat - misalnya
tayangan Uang Kaget - saya pun tidak akan mempersoalkannya. Yang menjadi
masalah karena Indonesian Idol adalah kontes menyanyi. Dan sudah sepatutnya,
kita sebagai masyarakat Indonesia memilih idola kita berdasarkan kemampuan
menyanyinya dan bukan berdasarkan atas kemampuan dia untuk seberapa banyak bisa
menguras air mata masyarakat Indonesia.





Belum lama ini, saya menonton acara ulang
tahun RCTI. Di acara itu tampil para pemenang Indonesian Idol dari musim
pertama hingga yang terakhir. Saat itu sangat terlihat bahwa kualitas vokal Ihsan
berada jauh di bawah para seniornya, yaitu Delon dan Mike. Untuk urusan faktor
X - yang sering diucapkan oleh para juri, rasanya Ihsan tidak juga memilikinya.
Untuk faktor X, saya rasa runner up Dirly lebih memilikinya, suaranya juga
lebih’jualan’ jika dibandingkan oleh suara Ihsan.





Bisa dipastikan alasan apa yang menyebabkan masyarakat
Indonesia memilih Ihsan untuk menjadi idola Indonesia yang baru. Simpati dan
belas kasihan masyarakat itu bisa datang karena penyelenggara Indonesian Idol
terlalu mengekspose kehidupan para finalisnya di luar panggung, dan untuk
Indonesian Idol musim ini, kehidupan seorang Ihsanlah yang paling sering
mendapat sorotan. Sudah cukup masyarakat Indonesia dibutakan oleh cerita sedih.
Beberapa tahun lalu ada seorang bernama Veri dengan kemampuan vokal yang bisa
dibilang buruk tetapi ‘untung’nya mempunyai latar belakang kehidupan yang
memprihatinkan. Karena hal itulah yang membuatnya menjadi juara di Akademi
Fantasi Indosiar yang pertama.





Terlalu mengekspose kehidupan di luar panggung
- seperti yang dilakukan oleh Indonesian Idol khususnya melalui tayangan Idol
Banget yang ditayangkan hampir setiap hari dalam seminggu - sebenarnya sudah
menyalahi aturan yang berlaku di American Idol. Bahwa sebisa mungkin kehidupan
di luar panggung dari para finalis tidak akan diekspose oleh pihak penyelenggara.
Masyarakat hanya memilih berdasarkan penampilan para finalis di panggung saja.
Seperti pemenang American Idol musim ini, Taylor Hicks yang kalau dihitung-hitung
hanya tampil di layar kaca kurang dari 5 menit setiap minggunya. Tetapi hebatnya
dia bisa membuat jutaan orang Amerika untuk terus mendukungnya sehingga tidak
satu kali pun dia berada di bottom three.
Satu lagi aturan yang telah dilanggar oleh Indonesian Idol, yaitu voting sms
yang dibuka dari awal acara. Seharusnya untuk mendapatkan voting yang fair, masyarakat boleh mengirim sms
setelah melihat semua peserta mempertunjukkan kemampuannya. Karena dari situ
akan ketahuan siapa yang saat itu tampil bagus dan yang tidak.





                                                                       ***

Rasanya penyelenggaraan Indonesian Idol dari
tahun ke tahun juga terus menurun. Paling mudah bisa terlihat dari kualitas
finalis yang ada. Kita akan kesulitan dalam menemukan finalis dengan karakter yang
benar-benar stand out dan bisa dipertanggungjawabkan
dari segi kulitas suara. Pada Indonesian Idol musim kedua, kita menjumpai
seseorang bernama Firman, dengan karakter rock yang cukup kental, tapi sayang
tidak dibarengi dengan kemampuan vokal yang baik. Tidak seperti Constantine,
atau juga Bo Bice - dalam American Idol
musim keempat, yang kemampuan vokal serta karakternya yang kuat tidak perlu
diragukan lagi. Saya jadi semakin sering mempertanyakan kriteria penjurian dari
Indra Lesmana dan kawan-kawan, karena sering terjadi seseorang yang notabene
mempunyai suara yang sangat biasa malah sering mendapat pujian dari para juri.
Contohnya adalah finalis Indonesian Idol musim kedua yang bernama Monita. Untungnya
tidak semua juri berpendapat sama. Saat itu Muthia Kasim berpendapat bahwa suara
Monita seperti layaknya suara gadis SMU di panggung-panggung sekelas sekolahan.





Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam Indonesian
Idol juga semakin membosankan. Saya memang tidak mengetahui secara pasti apakah
dalam Indonesian Idol ada aturan atau anjuran untuk menyanyikan lagu dalam
bahasa Indonesia saja atau tidak. Tapi sepertinya para konstentan masih
diperbolehkan dalam memilih lagu berbahasa Inggris, walau hal tersebut bisa
membawa mereka ke urutan terbawah dalam pengumpulan suara. Seperti yang terjadi
pada Sisi - salah satu finalis Indonesian Idol musim ini - yang akhirnya harus tersingkir saat
menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Bisa jadi hal tersebut disebabkan oleh pilihan
lagu yang dibawakannya.





Mungkin masyarakat Indonesia harus familiar terlebih
dahulu dengan lagunya, baru setelah itu mereka bisa mengirimkan sms dukungan.
Maka dari itu pada penyelenggaraan Indonesian Idol musim ini, tidak terhitung sudah
berapa kali lagu Samsons, Radja, Dewa 19, Peterpan, Ari Lasso,Ungu dan
artis-artis lainnya yang sekarang ini banyak menghiasi tangga lagu di
Indonesia, berkumandang di Balai Sarbini. Jika memang disarankan untuk
menyanyikan lagu Indonesia, kita masih mempunyai banyak lagu-lagu pop yang
bagus karya musisi negeri ini, seperti lagu dari Guruh Sukarno Putra, Candra
Darusman, Tony Koeswoyo, Dian Pramana Putra atau juga Christ Kayhatu. Menurut
saya, melalui ajang populer seperti ini, musik Indonesia jaman dahulu - yang sekarang ini hampir tidak tersentuh
oleh remaja di Indonesia - bisa lagi ditampilkan dalam bentuk yang lebih
menyegarkan dan tentunya yang bisa menarik perhatian masyarakat umum khususnya untuk
remaja seusia Ihsan yang mungkin belum pernah mendengar sebagian besar dari
nama musisi Indonesia yang telah saya sebutkan di atas.





Di Amerika sendiri, melalui tayangan American
Idol, sebuah lagu atau penyanyi yang mungkin sudah lama tidak terdengar oleh publik
Amerika, bisa kembali mendapat popularitasnya setelah lagu tersebut dibawakan
di panggung American Idol. Seperti pada tayangan American Idol musim kelima,
saat itu finalis yang bernama Elliot Yamin, dengan suaranya yang soulful
menyanyikan salah satu lagu dari penyanyi kulit hitam yang telah lama tiada,
yang bernama Donny Hathaway. Tidak berapa lama setelah penampilannya, tercatat
penjualan cd Donny Hathaway Collection di Amazon meningkat berkali-kali lipat. Dan
memang banyak yang mengakui bahwa mereka membeli cd tersebut setelah terpukau
dengan penampilan Elliot Yamin.





                                                                            ***

Mungkin tidak pantas jika saya terus-terusan
membandingkan penyelenggaraan American Idol dengan Indonesian Idol. American
Idol sendiri sudah berjalan 5 musim. Sedangkan Indonesian Idol baru berjalan 3
musim. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pihak penyelenggara
agar menjadikan Indonesian Idol sebagai ajang terdepan untuk acara-acara
pencarian bakat di negeri ini. Setelah itu tugas diberikan kepada kita sebagai
masyarakat Indonesia untuk memilih idola barunya dengan kualitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tetapi pada kenyataannya memilih berdasarkan kualitas
pun menjadi pekerjaan yang amat sulit. Di luar pengaruh dari latar belakang
kehidupan yang menyertainya, pekerjaan untuk memilih idola baru menjadi sulit
karena pilihan yang disediakan tidak memenuhi kriteria untuk menjadi seorang
bintang. Untuk itu kita biasa memilih yang terbaik dari yang terburuk.





Hal tersebut bisa terjadi karena banyak dari
penyanyi yang mempunyai kualitas tinggi yang tidak sempat atau mungkin tidak
mau untuk mengikuti ajang-ajang pencarian bakat seperti Indonesian Idol ini.
Mereka tersebar sangat banyak di sudut-sudut cafe, pesta-pesta perkawinan,
lobby hotel-hotel berbintang bahkan di kamar mandi tetangga kita. Mereka bernyanyi
dengan talenta yang istimewa, mungkin sambil berharap suatu saat mereka pun
bisa menjadi bintang, dengan cara mereka sendiri.











Corrine Bailey Rae

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Corrine Bailey Rae
Jika Eryka Badu mengajak Norah Jones untuk bersantai dengan segelas wine di meja, lalu tidak berapa lama Billie Holiday pun datang dan mengundang keduanya untuk bersantap malam di rumahnya, mungkin album inilah hasilnya. Sebuah album yang soulful dan elegan. Dihiasi oleh nafas Soul/RnB, serta disisipi dengan sentuhan jazzy di beberapa sudut ruangan menjadi perpaduan sempurna yang dihasilkan dari seorang pendatang baru bernama Corrine Bailey Rae. Melalui suara innocentnya yang terkadang terdengar lirih, namun lain waktu terdengar sexy, mampu membuat album ini begitu bernyawa. Suaranya memang tidak seperti kebanyakan penyanyi wanita kulit hitam lainnya, yang biasanya mempunyai suara tebal dan suka berteriak. Suaranya cenderung lebih tipis dengan gaya bernyanyi yang santai dan menenangkan. Lagu-lagu seperti “Like a Star”, “Till It Happens To You” dan juga “Choux Pastry Heart” membuat saya ingin terus bermalas-malasan di sebuah sofa empuk nan nyaman. Sedangkan lagu “Trouble Sleeping” menggoda saya untuk terus menekan tombol repeat. Lagu-lagu dalam album ini memang lebih tepat dinikmati saat senja baru berakhir. Ketika lelah membutuhkan teman, tetapi kita juga tidak ingin segera beranjak pulang. Album ini adalah sebuah awal yang cerah bagi karir Corrine Bailey Rae, selagi ia tidak akan melepaskan pelukan hangatnya yang diberikan kepada kita.

Monday, August 28, 2006

In My Own Words

Rating:★★★
Category:Music
Genre: R&B
Artist:Ne-Yo
Rasanya saya sudah sedikit muak dengan artis-artis kulit hitam yang banyak bermunculan di industri musik saat ini khususnya dalam ranah RnB dan Hip Hop. Biasanya mereka hanya bermodalkan perhiasan berkilau dan gaya hidup mewah ala kaum kulit hitam di West Coast. Tampil tanpa bakat musikal yang istimewa tetapi menyiasatinya dengan menggandeng pencipta lagu handal dan produser terkenal untuk menghasilkan album yang akan terjual jutaan kopi yang pada nantinya membuat mereka bisa memamerkan rumah mewahnya di MTV Cribs. Mereka memang menjadi bintang, tetapi bukan sebagai seorang musisi sesungguhnya yang bisa menciptakan musiknya sendiri. Sampai pada awal tahun 2006 kemarin, dirilislah sebuah album RnB yang bertajuk In My Own Words dari seorang artis pendatang baru bernama Ne-Yo. Sebelum membuat debut albumnya ini, Ne-Yo telah malang melintang sebagai seorang penulis lagu untuk para artis RnB terkenal, dari mulai Mary J Blige, Rubern Studdard, Faith Evans, Mario dan juga Rihanna. Jadi album ini adalah pembuktian dirinya, tidak hanya sebagai seorang penulis lagu yang handal tetapi juga sebagai penyanyi RnB yang layak diperhitungkan.

Singel “So Sick” yang sempat menduduki peringkat pertama di Billboard adalah bukti yang paling signifikan bahwa dirinya bukanlah artis RnB karbitan. Keseluruhan lagu berjalan ringan dan santai serta dilengkapi dengan reffren yang kuat. Gaya penulisan lirik Ne-Yo di lagu ini juga terasa istimewa. Dengan mengambil sudut pandang yang sama dari famous quote yang ditulis oleh Nick Hornby di dalam buku High Fidelity : What came first, the music or the misery? Did I listen to music because I was miserable? Or was I miserable because I listened to music?, Ne-Yo merasa telah jengah dengan segala lagu cinta yang akan membuatnya semakin menderita. ”I’m so sick of love song / so tired of tears / so sick of love song / so sad and slow / so why can’t i turn off the radio?”

Departemen lirik dalam album ini rata-rata masih menawarkan keagresifan khas RnB yang tidak akan pernah dihasilkan dari kesensitifan musik indie pop khususnya produksi Sarah Records. Kita tidak akan pernah menemukan lirik seperti “Could it be the little wrinkle over your nose / When you make your angry face/ That makes me wanna just take off all your clothes / And sex you all over the place” - yang ada pada lagu ”When You’re Mad” - di dalam lagu-lagu milik Trembling Blue Stars. Begitu juga sebaliknya, kita tidak akan pernah menemukan judul lagu seperti “Letter Never Sent” atau “I’m Tired, I’ve Tried” dalam kebanyakan album RnB seperti juga dalam album ini.

Ada satu hal yang bisa kita rasakan saat mendengar sebagian besar lagu dalam album ini, yaitu pengaruh dari seorang Michael Jackson. Album ini secara garis besar berhasil meniupkan kembali nafas musik ala Michael Jackson, dan tentunya dengan his own words. Salah satu lagu yang menurut saya paling banyak mendapatkan pengaruh dari Jacko ada di lagu “Sexy Girl”. Lagu ini seperti diciptakan untuk Jacko. Dari intro, verse, reffren sampai cara bernyanyi Ne-Yo, semuanya ‘sangat Jacko’. Dalam lagu “Sign Me Up”, Ne-Yo menyerukan “I’m just wanna rock with you” , persis dengan seruan Jacko dalam lagu terdahulunya “Rock With You” Untungnya pengaruh Jacko pada Ne-Yo hanya berakhir pada musik. Tidak seperti Usher – yang juga meniru habis penampilan Jacko - lengkap dengan sarung tangan yang dipakai di sebelah tangan.

Terlepas dari bayang-bayang Michael Jackson, album ini cukup menjanjikan untuk sebuah debut. Ini adalah album RnB yang konsisten. Lagu-lagu dalam album ini tidak melenceng menjadi Hip Hop, yang sering dilakukan oleh banyak artis RnB dewasa ini - yang sering mengaburkan garis batas antara Hip Hop dan RnB. Untuk kamu yang kurang menyukai musik rap, tidak perlu risau, karena sepanjang album kita akan terus mendengarkan alunan suara Ne-Yo yang merdu dan bukan celotehannya. Kemampuan Ne-Yo dalam menulis lagu juga membuat dia lebih unggul dibandingkan teman-teman seangkatannya, seperti Chris Brown misalnya. Mungkin tidak berlebihan jika meletakkan album ini tepat di sebelah album dari Pharell Williams, yang juga merupakan salah satu musisi kulit hitam dengan talenta terbaik yang dimiliki industri musik sekarang ini.

Sunday, August 20, 2006

a journey of a thousand miles begin with a single step

ballads of the cliche tur semarang dan jogja, tanggal 16-19 agustus 2005 : senja di stasiun senen.  erik yang merajuk karena lama menunggu.  bermain gitar, menyanyikan lagu pop indonesia tahun 90an dan bir dingin.  jam 4 dini hari di stasiun tawang.  hotel mesum bernama nyata plaza.  siang yang terik di kota semarang.  wawancara di prambors semarang.  ungaran dan rumah eyang tercinta.  wisata semarang dengan angkot carteran.  unika sugiapranata.  putu dan french riviera.  lagu sms.  ketiduran, melewatkan tomat dan congyang yang tersaji di kamar sebelah.  jam 6.30 pagi, bis joglo semar, bersiap untuk jogjakarta.  hotel galuh anindita.  jalan kaki menyusuri sisi kota jogja.  nasi kucing.  murah meriah.  sebuah permohonan, melewati beringin kembar.  club radical.  joko problemo yang menjadi mc malam itu.  the fake.  chance of a lifetime.  mengunjungi prambanan yang telah tutup.  wanda dan tehnik menawar yang paling baru.  kopi blandongan.  malam hari di malioboro.  kaset bekas.  jalan pajeksan.  lapen, labirin dan korban bernama adit vampir.  gudeg tengah malam.  widi yang terkena muntahan korban labirin.  late night talk.  jam 07.30 pagi di stasiun tugu, bersiap untuk kembali pulang...dan kesemuanya dibalut tawa dan bahagia.

ini adalah kali pertama ballads of the cliche dan tim melakukan perjalanan panjang ke luar kota. semoga ada kali kedua. tujuan berikutnya : malang dan surabaya?

Thursday, August 10, 2006

Bermain bersama Holga




Saya baru saja membeli kamera bernama Holga. Sebuah kamera plastik yang sering juga dikategorikan sebagai toy camera. Kamera inilah yang akhir-akhir ini selalu membuat saya penasaran dan 'memaksa' saya untuk terus mencoba dan mencoba walau pada akhirnya membuat uang di dompet semakin menipis.Ini adalah sebagian hasilnya..

Tuesday, August 8, 2006

Breakthru'

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Alternative Rock
Artist:Nidji
Akhir-akhir ini di kepala saya selalu terngiang-ngiang melodi lagu “Hapus Aku” dari Nidji, band yang baru saja mengeluarkan debut albumnya yang berjudul Breakthru’. Mungkin hal itu terjadi karena setiap kali saya menonton televisi, mendengar radio, bertandang ke kamar anak kosan atau berjalan di pusat-pusat keramaian, lagu tersebut selalu diputar dan diputar. Lama kelamaan, saya mulai menyukai lagu itu. Karena sejujurnya lagu itu cukup bagus. Lagu itu juga yang menggerakkan saya untuk mendengar lagu-lagu Nidji lainnya dalam debut album mereka. Lagu itu sendiri adalah singel ketiga yang dirilis, sebelumnya Nidji telah merilis singel “Sudah” (yang memenuhi keinginan pasar musik lokal akan musik pop yang mendayu dayu) dan juga “Child” (yang membuat Nidji dicap sebagai band pengekor Coldplay).

Anggapan sebagai band pengekor Coldplay tampak paling jelas setelah melihat penampilan dan juga tehnik falsetto yang dimiliki oleh sang vokalis, Giring. Tapi untuk materinya sendiri di dalam album, tampaknya tidak semua terpengaruh oleh musik buatan Chris Martin dan kawan-kawan di Coldplay. Lagu-lagu lainnya di dalam album Breakthru’, menurut saya lebih banyak terpengaruh melodi-melodi atau hook-hook ala Keane, yang juga masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Coldplay. Seperti pada “Engkau” dengan reffrennya yang membuat saya langsung membayangkan sosok vokalis Keane, Tom Chaplin yang sedang bernyanyi. Singel “Hapus Aku” yang sebelum ini saya bahas juga sedikit banyak terpengaruh oleh Keane. Lalu ada “ Kau dan Aku” - yang berpotensi untuk menjadi singel berikutnya - masih meniupkan aroma musik besutan trio yang berasal dari Battle, Inggris itu.

Tidak habis sampai disitu, Nidji juga ingin sekali menunjukkan sisi maskulin mereka dengan lagu-lagu yang lebih ngerock atau mungkin ingin menunjukkan refrensi musik mereka yang juga tidak ketinggalan jaman. Lagu-lagu seperti “Disco Lazy Time”, “Breakthrough” dan juga “Heaven” membawa kita kepada musik dance rock yang diusung serta dipopulerkan oleh grup-grup seperti The Killers atau juga Franz Ferdinand.

Mendengar Nidji seperti mendengarkan kompilasi dari band-band modern rock atau juga british rock yang sekarang ini sedang populer. Siapa yang menjadi panutan sudah terlihat dengan jelas. Tetapi musik dari band panutan mereka hanya bisa tercium dengan samar, karena kesemuanya diramu menjadi aroma. Aroma dari nafas yang sama bukan mengambil bagian yang sama dari suatu lagu dari band panutan mereka. Itulah yang menjadi kelebihan Nidji. Mereka bisa membedakan apa yang dinamakan terinspirasi atau menyadur secara langsung. Karena itu, dalam album ini kita tidak menemukan apa yang biasa disebut ‘tebak intro’ – yang biasa terjadi pada lagu dari band-band yang meniru habis band panutannya, sehingga hanya dengan mendengar intronya saja, kita bisa mengetahui lagu tersebut mirip dengan lagu band panutannya. Seharusnya Ahmad Dhani belajar banyak dari para juniornya ini, sehingga tidak terus-terusan mencuri bagian lagu dari band-band pujaannya dengan seakan-akan menganggap kita tidak pernah mendengarkan band lain selain Dewa 19.

Monday, August 7, 2006

album rekaman

Semalam, saya bertemu dengan seorang teman. Dia berkeluh kesah mengenai perasaannya setelah hubungan dengan pacarnya telah berakhir baru-baru ini. Dia merasa masih mempunyai ’hutang’ dengan mantan pacarnya tersebut. ’Hutang’nya adalah belum sempat memberikan album-album rekaman yang pernah dia janjikan kepada mantannya itu. Selain ingin melunasi ’hutang’ kepada mantannya, ternyata ada agenda tersembunyi yang telah disiapkan oleh teman saya, yakni ingin kembali menjalin hubungan dengan mantan pacarnya yang begitu dicintainya. Dengan harapan, setelah diberikan album-album rekaman tersebut, hati mantannya bisa luluh dan bisa menerima kembali teman saya itu sebagai seorang pacar. Istilah lainnya album rekaman tersebut menjadi sebuah proposal untuk merujuknya kembali suatu hubungan. Album rekaman tersebut tak ubahnya seperti perhiasan, bunga, coklat dan berbagai benda ’klasik’ lainnya yang biasa diberikan seorang pria kepada seseorang wanita yang dikasihinya.

Saat ini kita tidak bisa melihat album rekaman hanya sebagai dokumentasi dari karya seorang atau segerombolan musisi yang bisa kita dengar dimana saja dan kapan saja kita mau. Arti dari sebuah album rekaman bisa lebih dari itu. Sebuah album rekaman bisa membuat seseorang dengan rela menghabiskan uangnya dalam jumlah besar, walaupun pada hari-hari selanjutnya harus mengencangkan ikat pinggang atau bertahan hidup dengan pinjaman disana sini. Yang terpenting album rekaman yang didambakan bisa dimiliki.


Saya pernah menjumpai seorang penjual sekaligus kolektor album rekaman bekas di Bandung, yang hidupnya hanya ditemani oleh koleksi album rekaman yang dia kumpulkan sejak tahun 60an. Saat saya masuk ke dalam rumahnya, sejauh mata memandang yang terlihat hanya tumpukan kaset dan piringan hitam. Bahkan tempat tidurnya dikelilingi oleh jejeran kaset yang tertumpuk rapi. Orang itu tidak menikah (mungkin pernah menikah, saya tidak tahu pasti), yang jelas saat ini yang menjadi istrinya adalah koleksi album rekamannya. Album-album itulah yang selalu dirawat dan dicintai selayaknya mengasihi seorang manusia. Bisa dibilang orang tersebut mengabadikan hidupnya kepada album rekaman. Dan hal itu juga membuktikan bahwa sebuah album rekaman bisa begitu mempengaruhi kehidupan seseorang. Walau di cerita ini, pengaruh sebuah album rekaman sudah sampai di titik mengkhawatirkan.


Ada lagi cerita yang saya dengar bahwa ada pernikahan di Indonesia yang mempunyai mas kawin berupa CD Belle and Sebastian lengkap dari album pertama hingga terakhir. Pastinya tidak pernah terlintas sedikit pun di benak Stuart Murdoch dan kawan-kawan di Inggris sana, bahwa karya mereka bisa begitu berharga hingga bisa dijadikan mas kawin. (walaupun ritual memberikan mas kawin pada pernikahan tidak dikenal di daratan Eropa). Sampai disini pengaruh album rekaman pada kehidupan manusia berada di titik yang membahagiakan.


Yang pasti apresiasi para penikmat musik akan sebuah album rekaman seringkali jauh melampaui bayangan dari para musisi penciptanya. Para musisi itu hanya berpikir karyanya bisa dinikmati sepanjang jaman oleh para penikmat musik, tetapi mereka mungkin tidak sempat berpikir karya mereka bisa menjadi suatu bagian penting dari kehidupan para pendengarnya. Bagi sebagian orang album rekaman bisa menjadi harta karun yang tidak ternilai harganya, bagi sebagian lagi, album rekaman bisa menjadi suatu kenangan yang diabadikan, tetapi sebagian lagi menganggap album rekaman sebagai sebuah berhala yang menyesatkan. Ada sebuah pernyataan menarik dari seorang kolektor album rekaman yang saya temui saat baru saja menjual sebagian besar koleksinya yang pasti sangat berharga itu. Saat saya tanya, mengapa akhirnya ia memutuskan untuk menjual koleksinya tersebut, ia hanya menjawab ”Ngapain elo simpen terus tu album, lama-lama album itu kayak berhala aja, yang elo sembah-sembah dan elo puja-puja.”


Setiap orang boleh mempunyai persepsi tersendiri mengenai arti pentingnya sebuah album rekaman. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Yang pasti semua kembali kepada esensi sebenarnya dari sebuah album rekaman, yakni untuk didengarkan. Selebihnya biarlah mengalir di kehidupan kita. Berawal dari telinga kemudian berakhir menjadi cerita.