
Rating: | ★★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Other |
Artist: | Feist |
Setelah era keemasan Joni Mitchell berakhir di tahun 80an, rasanya tidak ada lagi penyanyi wanita dari Kanada yang mempunyai talenta yang begitu besar. Yang ada hanyalah seorang penyanyi pop karbitan bernama Avril Lavigne dengan kemampuan yang terbatas namun sangat terobsesi dengan musik rock atau juga seorang wanita kurus bernama Celine Dion yang lengkingan suaranya yang tinggi dan menggelegar bisa membuat setiap lansia meninggal lebih cepat karena serangan jantung.
Akhirnya setelah penantian yang panjang, di tahun 2004 melalui album
Let It Die, kita kembali disuguhkan dengan sajian musik yang menakjubkan yang dihasilkan dari seorang penyanyi wanita sekaligus penulis lagu penuh bakat dari Kanada yang bernama Leslie Feist. Album tersebut meraih angka penjualan yang fantastis serta dilengkapi dengan berbagai pujian dan penghargaan dari banyak pihak. Album
Let It Die - yang sebenarnya merupakan album keduanya - adalah monumen berharga yang membuat namanya lebih dikenal publik secara luas.
Feist kini menjadi mutiara dari Kanada yang semakin berkilau. Dan album terbarunya ini yang bertajuk
The Reminder akan semakin menuntun Feist kepada puncak karirnya. Album ini penuh akan petualangan musikal yang lebih berwarna, lebih luas dan lebih kompleks dari apa yang pernah dilakukannya di album sebelumnya. Singel pertama “My Man, My Moon” menampilkan harmonisasi suara Feist yang tidak terduga untuk bisa melekat kuat di kepala kita. Sementara itu musiknya sendiri terdengar seperti sebuah aksi disko yang tersamar, dengan irama drum dan bass yang rapat dan statis serta dengan melodi yang repetitif dari piano yang bermain di nada yang rendah.
Pada “Sea Lion Woman” – yang merupakan adaptasi dari lagu tradisional yang pernah dipopulerkan oleh Nina Simone – Feist membawa kita kepada kemeriahan ibadat hari minggu dalam sebuah gereja yang mayoritas umatnya warga Afrika Amerika, lengkap dengan tepuk tangan beritmik dan suara koor yang dinamis. Sampai pada pertengahan lagu, semua itu diambil alih oleh melodi gitar yang menggarang tajam yang memberi nuansa rock yang kental dan agresif.
Lagu lain yang juga masih menampilkan sisi agresif dari Feist adalah lagu “I Feel It All” yang bernuansa jangly dengan sepenggal momen spontan atas sebuah ironi dari kebebasan, seraya ia berseru
“The wings are wide / I’ll be the one who'll break my heart” Sementara itu lagu up beat lainnya seperti “Past in Present” mengingatkan saya kepada apa yang pernah dilakukannya dengan grup kolektif Broken Social Scene.
Bagi yang mencintai sisi sentimentil dari Feist, album ini juga menawarkan banyak lagu-lagu down tempo yang akan menggugah perasaan. Dimulai dengan lagu pembuka dalam album ini yang berjudul “So Sorry”, yang mempunyai aura kelembutan yang sama dengan “Gatekeeper” - lagu pembuka dalam album Let It Die -
“I'm sorry, two words / I always think after you're gone / When I realize I was acting all wrong”, Feist bernyanyi dengan tulus dan bersahaja di tengah iringan brush drums, upright bass, dan gitar akustik yang berbisik lembut. Rasanya tidak mungkin kita tidak menerima permintaan maaf darinya, terlebih saat dia berucap di ujung lagu
“We don't need to fight and cry / we could hold each other tight..tonight”Untuk lirik, album ini mungkin terasa lebih personal dan juga reflektif bagi Feist. Dengan kemampuannya berfilosofi dengan berbagai metafora yang mengiringi, lirik Feist selalu tampak segar dan jauh dari klise
"Clouds part just to give us a little sun" Feist bernyanyi di awal lagu “The Limit To Your Love". Sebuah track emosional yang didramatisir dengan kehadiran string section yang merayap dan bergetar yang seakan-akan merefleksikan sebuah ketegangan diantara dua orang kekasih yang baru saja berselisih. Sedangkan pada lagu penutup album “How My Heart Behaves”, Feist bernyanyi
“What grew and inside who / Like water lost in the sea” di tengah alunan piano dan harpa yang saling bersahut yang menjadikan track ini sebagai sebuah ode dari ketidakstabilan emosi dari dirinya.
Biarpun lirik dalam album ini terasa lebih melankolis, Feist tetaplah seorang gadis menyenangkan yang suka menari gembira dengan koreografi yang lucu seperti saat ia menyanyikan “Mushaboom” – singel terbesarnya di album terdahulu. Kali ini lagu “1234” yang bisa mewakili kegembiraan tersebut. Lagu ini sangat kuat untuk bisa menjadi singel berikutnya atau mungkin juga bisa menjadi single of the year. Hanya dalam waktu tiga menit, lagu ini bisa mengobarkan semangat suka cita yang begitu meriah, dirayakan dengan bebunyian banjo, gitar akustik, piano, string section, serta brass section yang saling berpadu dengan megahnya.
Untuk suara Feist sendiri, rasanya saya tidak perlu lagi berbicara banyak, karena semua orang saat ini seharusnya sudah mengetahui kehebatan dan keunikan suaranya. Suara Feist selalu memiliki muatan emosi yang magis yang membuat lagu sesimpel apapun akan terdengar sangat bernyawa. Seperti yang dilakukannya pada lagu “The Water” dan juga “Intuition” dalam album ini. Mungkin kalau bukan Feist yang bernyanyi, lagu-lagu tersebut pasti akan terasa sangat membosankan.
Album ini secara keseluruhan telah berhasil dalam melanjutkan kesuksesan album Feist terdahulu tanpa harus mengulangi formula yang sama. Jika album
Let It Die terdengar lebih halus dan terprogram, album
The Reminder tampak lebih organik dan kasar. Contoh paling signifikan bisa didengar dalam “The Park” yang mempunyai kualitas suara seperti rekaman demo; direkam di tengah taman yang penuh dengan burung-burung berkicau yang menjadikan lagu ini mempunyai ambient yang sempurna sekaligus unik.
Saya sebagai penggemar Feist yang telah menanti selama kurang lebih tiga tahun untuk album terbarunya ini, merasa sangat puas. Feist is back with a reminder of what made her so special in the first place.