Thursday, October 30, 2008

Perkenalan Menggunakan Rangefinder Dengan Ricoh 500 GX




Awalnya saya sama sekali tidak tertarik menggunakan kamera rangefinder. Karena saya terbiasa dengan kamera-kamera plastik point and shoot yang tinggal jepret saja, tanpa harus memikirkan diafragma, speed dan berbagai hal teknis fotografi lainnya.

Tapi ketika beberapa bulan yang lalu saya berkunjung (lagi-lagi) ke pasar loak dan menemukan sebuah kamera rangefinder bermerk Ricoh tipe 500 GX dengan kondisi yang cukup baik dan harga yang sangat murah, rasanya sangat sulit untuk dilewatkan begitu saja. Hehe.. Jadilah saya membeli kamera itu, dan mencoba untuk pertama kalinya menggunakan kamera rangfinder.

Dengan memadukan film B&W Lucky (yang pertama kali juga saya gunakan), inilah beberapa hasil dari roll perkenalan dengan kamera rangefinder saya yang pertama Ricoh 500 GX. Jadi maaf jika banyak gambar yang blur ataupun tidak fokus. Maklum newbie. :D

Setelah menggunakan Ricoh 500 GX tersebut, sekarang saya jadi tertantang ingin mencoba kamera rangefinder yang lain. Sasaran berikutnya: Yashica Electro 35 GSN. hehe

Temu Kangen Dengan Holga




Beberapa bulan belakangan ini, saya sedang giat-giatnya mencoba berbagai jenis kamera format 135 yang mengakibatkan kamera Holga 120 N milik saya menjadi terlantar. Sampai akhirnya sekitar dua minggu yang lalu, menjelang World Toy Camera Day, tiba-tiba datanglah rasa rindu untuk kembali menggunakan Holga.

Karena sudah terlalu lama tidak menggunakan Holga, persediaan saya untuk film format 120 benar-benar tidak ada. Jadi saya pergi ke toko foto Kamal di Braga. Satu-satunya jenis film format 120 yang dijual disana hanya film negatif Kodak Ektacolor yang kebetulan tersedia juga yang expired dengan harga yang didiskon. Ya sudah, saya beli yang didiskon saja, yang penting saya bisa temu kangen dengan Holga milik saya. (Walaupun sebenarnya saya ingin sekali kembali menggunakan film B&W di Holga.)

Temu kangen dengan Holga 120 N milik saya dimulai pada pagi hari ketika saya dan teman-teman kantor pergi survey tempat ke Dago Tea House untuk penyelenggaraan JEUNE Release Party edisi terbaru. Setelah itu saya ke kantor, lalu pada sore hari saya menjemput pacar di kantornya.

Kebetulan pacar saya sedang stress karena kerjaan kantornya, maka ia pun mengajak saya untuk pulang dengan berjalan kaki dari kantornya di jalan raya Kopo sampai ke jalan di dekat Mal Istana Plaza. Sebuah ajakan yang tepat, karena dengan berjalan kaki, saya bisa lebih leluasa menghabiskan rol film.

Maka di sore hari itu, kami pulang berjalan kaki bersama. Seraya ia berkeluh kesah mengenai kerjaannya, saya terus membidikkan kamera Holga saya ke berbagai objek yang saya temui sepanjang perjalanan pulang tersebut.

Hari itu, yang bertepatan dengan World Toy Camera Day, temu kangen dengan Holga 120 N milik saya berjalan dengan lancar. Seorang teman pernah berkata jangan pernah menganggurkan Holga terlalu lama, karena ia bisa ngambek ketika digunakan kembali. Namun untungnya Holga 120 N saya tidak ngambek ketika digunakan kembali. Karena sepertinya ia juga rindu kepada saya. Haha..

Wednesday, October 29, 2008

PopCircle Edisi Spesial: 80s (but no so cheesy 80s music)

Setelah edisi spesial Burt Bacharach bulan lalu, semalam PopCircle kembali lagi dengan sebuah edisi spesial yang kali ini mengangkat tema: 80s (but no so cheesy 80s music)

Tidak seperti tema-tema back to 80s pada umumnya yang biasanya dipenuhi oleh band-band new romantics dan juga artis pop yang sering menghiasi berbagai chart radio dan juga MTV, seperti Spandau Ballets, Madonna, Wham, atau Michael Jackson, PopCircle edisi 80an ini menampilkan band-band underrated atau musisi kelas dua yang di jamannya tidak pernah mengalami kesuksesan komersial yang signifikan yang beberapanya juga mempunyai pengaruh musikal yang cukup penting bagi band-band jaman sekarang.

Sebut saja, The Durutti Column. Band Factory Records yang di era 80an namanya tenggelam di bawah band-band satu labelnya seperti Joy Division, New Order dan juga Happy Monday, namun ternyata pengaruhnya cukup terasa pada band-band post rock yang berkembang di awal tahun 2000an.




Ada juga duo asal Athena, Yunani yang menamakan dirinya Fantastic Something yang hanya merilis satu buah album, namun musiknya menjadi salah satu inspirasi terbesar dari band-band seperti Blueboy dan juga Kings of Convenience. 





Begitu pun yang dialami oleh band asal Inggris, The Chameleons UK yang sepanjang karirnya di era 80 namanya kurang begitu populer, tidak seperti teman-teman seangkatan seperti The Cure ataupun Echo and The Bunnymen. Walau sebagian kalangan menilai musik mereka menyerupai U2 di awal karirnya, namun tetap saja musik The Chameleons UK dianggap jauh lebih baik dari U2. Pada kelanjutannya pengaruh musikal The Chameleons UK bisa didengar pada band-band indie rock di awal 2000an, seperti The Killers, Editors dan juga Interpol.

Secara keseluruhan musik-musik dari era 80an yang kami putar semalam sedikit banyak memberi gambaran lain kepada para pendengar bahwa musik 80an tidak selalu dijejali oleh bebunyian non organik yang dihasilkan oleh perangkat synthesizer yang sering kali mempunyai porsi yang berlebih hingga terkesan norak. Karena di luar itu semua, musik 80an sebenarnya penuh oleh bakat-bakat mengagumkan yang sayangnya beberapa dari mereka sering luput dari perhatian orang banyak di kala itu.

Para pendengar yang kami minta pendapatnya mengenai musik 80an juga sependapat dengan kami. Dari sms-sms yang masuk semalam, rata-rata berpendapat bahwa musik 80an itu adalah musik-musik yang mempunyai karakter tersendiri, menyenangkan dan juga pengaruhnya cukup besar bagi band-band yang hidup di era selanjutnya.

Di edisi spesial yang mengudara semalam, kami juga kembali membuka segment localism yang selalu menghadirkan musisi lokal untuk interview singkat via telepon. Semalam, kami berbincang-bincang dengan Fariz RM mengenai grup bandnya yang bernama Transs.

Transs adalah band fusion yang hanya merilis satu buah album, namun kehadirannya dianggap sangat berpengaruh terhadap perkembangan musik fusion di Indonesia pada tahun 80an.

Band ini dibentuk oleh Fariz RM (yang di band tersebut selain bernyanyi juga memainkan gitar) dan beranggotakan Erwin Gutawa (bass), Uce Haryono (drum), Dhandung SSS (vokal), Jundhi Karyadi (keyboard), Eddy Harris (keyboard), Wibi Ak (perkusi), Hafil Perdana kusuma (Vokal, flute ).

Album perdana dan satu-satunya album mereka ini bertajuk Hotel San Vicente, dirilis tahun 1981 oleh Akurama Records. Album ini sering dinilai oleh banyak kalangan sebagai cikal bakal dari merebaknya grup-grup fusion pada paruh dasawarsa 80-an, seperti Krakatau, Emerald, Karimata, Spirit , Indonesia 6, Modulus, Halmahera, dan masih banyak lagi.

Pada tahun 2008, album Hotel San Vicente masuk dalam urutan ke 35 dari 150 album terbaik Indonesia versi majalah Rolling Stone.

Semalam Fariz RM bercerita panjang lebar mengenai asal usul band ini, arti judul Hotel San Vicente sampai kepada cerita mengenai artwork album yang cukup kontroversial di jamannya. Di akhir perbincangan kami memutarkan salah satu lagu yang ada dalam album tersebut yang berjudul Kalangan Dusta.




Itulah sekelumit cerita dari edisi spesial PopCircle yang mengudara semalam. Tunggu edisi-edisi spesial PopCircle berikutnya yang akan mengudara di minggu keempat setiap bulannya.

Dan ini adalah playlist semalam yang selain menampilkan band-band underrated dan kelas dua tentunya juga menampilkan lagu-lagu dari band-band era 80an favorit kami:

 
1. The Cars - Heartbeat City

2. Everything But The Girl - Lonesome For a Place I Know

3. Fantastic Something - The Night We Flew Out The Wind

4. Prefab Sprout – Technique

5. Swing Out Sister - You On My Mind

6. Dreams So Real - Maybe I'll Go Today

7. Marshall Crenshaw - You're My Favorite Waste of Time

8. Strawberry Switchblade - Who Knows What Love Is

9. Ben Watt - North Marine Drive

10. Colourfield - Thinking of You

11. Missing Persons - I Can't Think About Dancin'

12. Kitchens Of Distinction - Prize

13. The Blue Nile - Let's Go Out Tonight

14. The Durutti Column - Sketch For Summer

15. The Chameleons UK - Up The Down Escalator

16. The Pale Fountains – Crazier

17. Edie Brickell  and New Bohemians – Circle

18. Aztec Camera – Jump (Van Hallen cover)

19. Kings of Convenience - Manhattan Skyline (A-Ha cover)

20. Transs - Kalangan Dusta

21. Rah Band - Sam the Samba Man


PopCircle adalah program mingguan di Rase FM 102. 3, setiap rabu malam dari pukul 22.00 hingga pukul 1 dini hari, bersama Risa Saraswati dan Syauqy Lukman.

Thursday, October 23, 2008

TELAH TERBIT JEUNE MAGAZINE EDISI PERAK: SILENCE ISSUE




Photobucket

Dalam edisi ini, kami merayakan keheningan, seperti John Cage merayakan keheningan dalam pertunjukkan musiknya yang fenomenal itu.

Keheningan merangkul rahasia seseorang ketika ia tertarik dengan lawan jenisnya dari sebuah kejauhan. Namun keheningan juga berusaha dipecahkan ketika kata demi kata telah habis dan menyisakan jeda yang tidak nyaman diantara dua orang yang bertatap muka.

Sementara itu, sebagian orang bekerja dengan diam, tanpa dikenali, tanpa menuntut sebuah pengakuan. Sedangkan tempat pun bertutur dengan santun, menceritakan kembali sebuah kisah yang pernah terjadi, dimana ia menjadi saksi bisu dari semua tawa dan air mata.

Melalui keheningan, band Goodspeed You! Black Emperor merenungkan ulang sebuah posisi subjektif di tengah pergolakan objektif kerumunan massa. Dan seorang mime seperti Marcel Marceau atau juga Dede Dablo menciptakan ruang, waktu dan benda melalui gerak-gerak sunyi yang berisyarat.

Kami pun terus menelusuri keheningan. Seperti yang kami temukan pada foto-foto terbuang yang kini dapat kembali berbicara setelah sebelumnya hanya diam dan membeku di sebuah sudut yang usang dan tak tersentuh. Yang juga semakin menguatkan sebuah ungkapan lama, picture tells a thousand words.

Tak lupa juga, para pembuat film memilih untuk tidak diam dengan kembali membuka catatan kelam mengenai peristiwa tragedi Mei tahun 1998 melalui sebuah pemahaman: diam adalah sebuah pernyataan ketika kita sudah selesai bertanya: Kenapa?



Go to ImageShack® to Create your own Slideshow

JEUNE Magazine nomer 25, Silence Issue sudah bisa didapatkan di toko buku terdekat dan pada newstand di sekitarmu.

Wednesday, October 22, 2008

PopCircle #42: antara Suzanna, Genjer-Genjer dan lagu Vina Panduwinata di film Malam Satu Suro

Masih dalam suasana berkabung atas meninggalnya ratu horor Indonesia dan juga menjelang hari Halloween pada tanggal 31 Oktober nanti, PopCircle edisi ke 42 yang mengudara semalam mengangkat tema lagu-lagu terseram yang pernah didengar.

Dengan backsound lagu Selamat Malam dari Vina Panduwinata yang pernah dimainkan Suzanna di piano dalam film Malam Satu Suro – yang menurut Edwin adalah film Suzanna terseram yang pernah ia tonton - , para pendengar membagi kisahnya mengenai lagu-lagu terseram berikut alasannya.

Kami pun turut berbagi dan juga membahas beberapa lagu yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah lagu yang menakutkan dengan cerita-cerita di baliknya. Mulai dari scoring film Pemberontakan G30SPKI, lagu tradisional masyarakat Banyumas, Genjer-Genjer yang jadi sangat lekat dengan GERWANI, lalu ada kidung Lingsir Wengi, sebuah lagu tradisional masyarakat Jawa yang juga menjadi lagu horor setelah muncul di film Kuntilanak sampai ke lagu Gloomy Sunday yang konon memacu banyak kejadian bunuh diri bagi orang-orang yang mendengarkannya.

Sayang sekali, Risa Saraswati semalam berhalangan hadir, jadi saya yang menggantikannya menjadi patner siaran Syauqy Lukman. Seharusnya dengan tema semalam, Risa bisa menjadi narasumber yang mumpuni karena tampaknya ia sangat dekat dengan hal-hal yang berbau mistis. Hehe

Selain berbagi lagu horor, kami juga membagikan info-info terbaru mengenai proyek kolaborasi Tracy Thorn dengan Jens Lekman untuk album terbaru dan untuk sebuah lagu yang akan ada di box set ulang tahun Merge Records,  kabar dari mantan vokalis Mandalay, Nicola Hitchcock yang belum lama ini membagikan lagu-lagu terbarunya serta kabar mengenai Kings of Convenience yang sedang mengerjakan album selanjutnya.

Untuk playlist yang diputar semalam, ada lagu-lagu baru dari Keane, Earlimart, Copeland, Final Fantasy, Neil Halstead dan juga beberapa band-band teranyar yang menurut kami patut untuk diawasi, seperti Alt-Ctrl-Sleep dan juga Van She.

Sekian kisah PopCircle semalam. Minggu depan, kami akan mengudara dengan sebuah edisi spesial. Tunggu kabar selanjutnya.


Ini adalah playlist edisi semalam (in alphabetical order):

01. Alt-Ctrl-Sleep – Stay

02. Brent Cash – When The World Stops Turning

03. Copeland - Should You Return

04. Earlimart - Time for Yourself

05. Esthero – That Girl

06. Final Fantasy – Cockatrice

07. Gigolo Aunts - Everyone Can Fly

08. Heather Nova - Gloomy Sunday

09. Jesus Jones - The Devil You Know

10. Keane - Perfect Symmetry

11. Lovespirals - Love Survives

12. Merril Bainbridge - Sydney from a 747

13. Neil Halstead - Queen Bee

14. Santessa - Nowhere

15. Shakespeare Sister - I Don't Care

16. SJD - Superman, You're Crying

17. Suddenly Tammy - Beautiful Dream

18. Van She - Kelly

19. Yael Naim - Toxic (Britney Spears cover)

20. Yo La Tengo - Center of Gravity


PopCircle adalah program mingguan di Rase FM 102. 3, setiap rabu malam dari pukul 22.00 hingga pukul 1 dini hari, bersama Risa Saraswati dan Syauqy Lukman.

Thursday, October 16, 2008

Kabar Matahari Bersinar 36 Jam Hari Ini Hanya Sebuah Berita Bohong?


Saya baru saja mengetahui kabar ini dari bos saya di kantor. Katanya hari ini di Indonesia dan negara-negara di Asia lainnya matahari akan bersinar lebih lama, tepatnya 36 jam. Begitu juga sebaliknya, di Amerika dan sekitarnya akan terjadi kegelapan dalam kurun waktu yang sama. Dan semua itu karena fenomena alam yang terjadi setiap 2400 tahun sekali.

Saya lalu search di google. Beberapa blog menyebutkan berita itu bohong. Saya sih sependapat. Rasanya memang tidak mungkin. Karena
secara logika (walaupun mata kuliah dasar logika saya hanya mendapat nilai D), jika matahari benar akan bersinar selama kurang lebih satu setengah hari, berarti selama itu bumi berhenti berputar? Yang akan berakibat semua perhitungan waktu selama ini, termasuk 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 30 hari sebulan dan 365 hari setahun akan kacau semua.

Jadi sepertinya lagi-lagi ini hanya sebuah berita bohong semata. Tapi sumber awalnya dari mana yah?

Besok Adalah World Toy Camera Day


Tanggal 18 Oktober 2008 besok adalah penyelenggaraan yang keenam kalinya dari World Toy Camera Day, dimana satu hari penuh setiap orang di dunia mengambil gambar apapun melalui berbagai kamera yang dianggap sebagai toy camera. Penjelasan resmi mengenai World Toy Camera Day, saya cantumkan di paling bawah tulisan ini.

Sebenarnya masih terjadi perdebatan hingga saat ini, kamera apa saja yang dianggap sebagai toy. Sejauh yang saya ketahui, istilah toy camera itu awalnya adalah julukan yang diberikan oleh para fotografer profesional terhadap berbagai kamera film berbahan plastik yang biasanya berharga murah dan menghasilkan gambar-gambar dengan kualitas lo-fi.

Yah, sebenarnya definisi mengenai toy camera bebas-bebas saja, tergantung persepsi masing-masing. Yang pasti toy camera tidak selalu kamera yang dijual oleh Lomography Society International. Apapun merknya, selama masih analog dan bukan kamera berharga belasan juta yang biasa digunakan oleh para fotografer profesional.

Jadi ingat, yang terpenting besok jangan lupa untuk membawa toy cameramu kemana saja kamu pergi dan habiskanlah rol-rol film itu dalam satu hari penuh.

Jika ingin menguploadnya, bisa di flickr group di alamat ini. Jika ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai World Toy Camera 2008, bisa dilihat disini. Dan seperti tahun-tahun lalu, ada hadiah menarik bagi foto yang terpilih sebagai pemenang.

Selamat bersenang-senang dengan kameramu besok!


About WORLD TOY CAMERA DAY

A World Toy Camera Day community affair with like minded toy camera photographers from all over the globe who take part on this day in the month of October. A day where we wake up in the wee hours of the morning and load all of our favorite plastic cameras like the Holga, Diana, Brownies and the like and end the day with our Low-fi, Low-brow, blurry and ridiculously out of focus snap shots. A day also invented by Becky Ramotowski who took the idea from World Pinhole Photography Day. Her idea spawned a world wide annual event using toy cameras and shooting endless rolls of 120 and Polaroid film...oh and even some crappy 35mm too...and has been in circulation for six years now. See you all there!

Apa Saja Yang Terjadi Dalam PopCircle Dua Minggu Ini?

Karena minggu lalu saya tidak sempat menulis ulasan PopCircle, jadi minggu ini dirangkap dua saja. Hehe..

Jadi sekarang ini, PopCircle kembali mengudara dengan durasi tiga jam, setelah sebelumnya selama bulan Ramadhan dipotong durasinya menjadi dua jam. Dengan durasi yang lebih lama, kami berharap bisa memutarkan lebih banyak lagi request dari pendengar.

Untuk edisi 40 PopCircle minggu lalu, entah mengapa respon pendengar tidak seramai biasanya. Kami berasumsi mungkin sebagian besar masih dalam suasana liburan, walaupun hari lebaran telah usai.

Topik sharing minggu lalu juga masih berkaitan dengan suasana liburan dan mudik. Kami meminta pendengar untuk menyebutkan minimal tiga lagu yang dirasa cocok untuk didengarkan saat perjalanan jauh ke luar kota. Kami memberikan ilustrasi seandainya para pendengar menyiapkan playlist untuk perjalanan jauh, apa tiga lagu pertama yang pasti akan ada di playlist perjalanan tersebut.

Di sesi kedua dalam topik sharing minggu lalu juga masih berkaitan dengan situasi perjalanan: jika bisa memilih, lebih baik mana, ban mobil kempes atau kehabisan bensin saat sedang berkendara sewaktu perjalanan jauh. Sampai di akhir acara, kami menerima 35 sms baik itu yang merespon topik yang kami gulirkan ataupun sms yang berupa request.

Lalu di edisi 41 PopCircle semalam, suasana studio cukup meriah karena kehadiran beberapa kerabat yang menemani Mocca yang di jam sebelumnya bermain akustik di acara Rase Cinta Indonesia Tampil. Mocca sendiri diundang bermain di Rase FM dalam rangka keberangkatan mereka untuk menjadi bintang tamu di acara tahunan Grand Mint Festival yang berlangsung di Seoul, Korea pada tanggal 17 Oktober besok.

Untuk playlist semalam, kami juga memutarkan lagu baru dari Telefon Tel Aviv, Jem serta sebuah lagu dari debut album The Watson Twins yang lebih dulu dikenal ketika mereka berkolaborasi dengan Jenny Lewis di album Rabbit Fur Coat.

Di segment Maindish, topik sharing yang kami gulirkan kali ini berkaitan dengan fashion. Di sesi pertama, kami mengundang pendengar untuk memberikan pendapatnya mengenai band atau musisi siapa saja yang dirasa mempunyai sense fashion yang bagus dan mewakili gaya berbusana mereka.

Lalu di sesi kedua, kami bertanya lebih lanjut: apakah fashion di musik itu begitu penting? Beragam jawaban kami terima, baik yang mendukung bahwa fashion merupakan bagian penting dari sebuah band dan juga sebaliknya.

Total sms yang masuk semalam, sebanyak 61 sms. Jumlah terbanyak yang pernah kami terima selama ini. Sebelumnya rekord tertinggi dari sms yang masuk sebanyak 52 sms.

Terima kasih banyak bagi pendengar yang telah setia mengikuti PopCircle dari minggu ke minggu dan berpartisipasi dalam request dan topik-topik yang kami gulirkan. Doakan saja mudah-mudahan dalam dua atau tiga bulan ini, kami dapat mengadakan sebuah acara off-air dimana kami dan pendengar dapat lebih berinteraksi secara langsung. 

Ini adalah playlist PopCircle edisi 40 dan 41:

PopCircle #40

1. Alphabeat – 10.000 Nights of Thunder (superbass mix)

2. Theresa Andersson – Na Na Na

3. Spiral Staircase – More Today Than Yesterday

4. Beirut – Fountains and Tramways

5. Leona Naess – Learning as We Go

6. Lighting Seeds – I Wish I Was In Love

7. Tenniscoats – Bai Ba Ba Bimba

8. They Might Be Giants – Dr.Worm

9. Kind of Girl – If You Say

10. June and The Exit Wound – How Much I Really Love You

11. Maximillian Hecker – Summerwaste

12. Lisa Hannigan – Splishy Splashy

13. Gael Garcia Bernal – If You Rescued Me (The Velvet Underground cover)

14. Aha – Crying in the Rain (The Everly Brothers cover)

15. Kate Bush – Wuthering Heights

16. Stina Nordenstam – Something Nice

17. Anti Atlas – Cool Is The Night

 

PopCircle #41

1. Fra Lippo Lippi – Angel

2. Eureka! - Where Are You Going To

3. Telefon Tel Aviv - Helen of Troy

4. Jem – And So I Pray

5. Todd Rundgren – I Saw the Light

6. Blake Hazard – Waiting

7. Dot Allison – Close your Eyes

8. Alpha – Sometime Later

9. Leigh Nash – Angel Tonight

10. The Watson Twins - Sky Open Up

11. Dubstar - Elizabeth Taylor and Richard Burton

12. Hello, Blue Roses – Shadow Falls

13. Beachwood Sparks – Ghost Dance 1492

14. Manic Street Preachers - Can't Take My Eyes Off You (Frankie Valli cover)

15. Morrissey – Moon River (Henry Mancini cover)

16. William Shatner feat Ben Fold and Aimee Man – Thats Me Trying

17. My Morning Jacket – Sec’Walkin

18. Bjork and Thom Yorke – I’ve Seen It All

Tuesday, October 7, 2008

Roll Pertama Dari Miranda Solo Power Zoom, Kamera Yang Saya Salah Beli




Ini akibat terlalu bernafsu ketika menemukan sebuah barang yang dicari di ebay. Jangan ditiru.

Awalnya saya tertarik ketika melihat foto-foto panoramic di sebuah blog. Hasilnya memang tidak semewah horizon, tapi cukup bagus lah menurut saya. Si pemiliknya blognya memberitahu bahwa kamera yang ia pakai adalah kamera panoramic point and shoot yang berharga murah bernama Miranda Solo.

Saya lalu mencarinya di ebay. Pencarian pertama hasilnya nihil. Baru pada pencarian yang kedua, saya akhirnya menemukan kamera (yang saya anggap) Miranda Solo yang disebutkan oleh si pemilik blog.

Tanpa pikir panjang, saya lalu membelinya karena harganya juga murah, sekitar 1 pound. Saya merasa bahwa kamera ini akan susah lagi dicarinya di ebay, jadi lebih baik saya beli sekarang atau harus menunggu dalam waktu yang lama yang tidak bisa ditentukan juga.

Ketika sedang menunggu kiriman kameranya datang, saya iseng-iseng browsing lagi di ebay. dan ternyata kamera Miranda Solo ini mempunyai berbagai tipe. Namun dari semuanya, tidak ada satupun yang mencantumkan tulisan panoramic. Disini, sebenarnya saya mulai curiga. Apa jangan-jangan saya salah beli? Tapi mungkin saja, feature panoramic itu ada di semua kamera Miranda Solo, begitu pikir saya sekaligus mencoba menghibur diri.

Beberapa minggu kemudian, kamera tersebut sampai dengan selamat ke tangan saya. Saya segera menggunakannya dengan film B&W buatan Czech Republic yang bernama Fomapan 100 classic, pemberian teman kantor saya, Indro.

Jepret, jepret, jepret, lalu dicuci dan hasil dari kamera automatic point and shoot ini sama sekali tidak panoramic, sesuai dengan kecurigaan saya.

Lalu lagi-lagi saya browsing di ebay. Saya masih penasaran dengan Miranda Solo Panoramic itu. Akhirnya saya menemukan kamera yang dari awal saya cari itu yang sialnya sudah terjual sehari sebelumnya. Di keterangannya baru tertulis Miranda Solo Panoramic Camera. Si penjualnya juga menyebutkan kamera itu mengambil gambar secara panoramic.

Yah, berarti memang belum jodoh dengan kamera itu. Salah saya tidak sabar menunggu dan juga tidak membaca dengan teliti keterangan si penjualnya waktu mau membeli.

Tapi dipikir-pikir lagi, lumayanlah saya sekarang jadi punya kamera film automatic yang bisa zoom in dan zoom out dan juga setiap ganti frame, saya tidak harus memutar secara manual kokangannya. hehe..

Ini adalah sebagian hasil-hasil dari roll pertama saya dengan Miranda Solo yang bukan panoramic melainkan nama lengkapnya adalah Miranda Solo Power Zoom.

Sunday, October 5, 2008

Selayang Pandang Mengenai Kamera Fujica M1




Beberapa waktu lalu, saya diminta oleh fotografer asal Amerika Serikat Nic Nichols untuk mereview kamera Fujica M1 untuk sitenya fourdarkcorners, yang banyak membahas mengenai toy camera.

Untuk bahan review, saya pun googling untuk mencari tahu lebih banyak info mengenai kamera yang terbuat dari plastik dan berharga murah ini, yang mungkin bisa dikatakan sebagai toy camera seperti Holga, Diana dan banyak kamera plastik lainnya yang diangkat derajatnya oleh Lomography Society International.

Dan ternyata informasi mengenai kamera ini sangat sulit. Dari sebuah forum fotografi lokal, saya hanya mendapatkan sedikit informasi bahwa kamera Fujica M1 ini diproduksi tahun 80an. Penjualannya juga sempat booming di kala itu. Awalnya harga kamera ini 15.000 rupiah dan hanya mengeluarkan satu jenis warna, yaitu hitam. Di bawah ini adalah iklan cetak kamera Fujica M1 di awal-awal peredarannya.

Photobucket

Namun setelah Maya Rumantir menjadi bintang iklan kamera ini, harganya naik menjadi 25.000 rupiah dan modelnya ada berbagai warna, seperti merah, biru dan hijau. Ini adalah contoh iklannya sewaktu Fujica M1 memproduksi tipe warna-warninya.

Photobucket

Lalu di sebuah website berbahasa Perancis, saya menemukan kamera Fujica dengan tipe MA-1 yang mempunyai bentuk fisik sama persis dengan Fujica M1.

Photobucket

Ketika saya ketik Fujica MA-1 di google, ternyata informasi yang saya dapatkan sedikit lebih banyak dibandingkan dengan informasi mengenai tipe M1. Sampai akhirnya, saya menemukan sebuah website lokal yang membuka tabir misteri dari kamera ini. Di website itu tertulis,

“Kini, Honoris Industry, dengan yakin, menitikberatkan pemasaran produk kameranya ke luar negeri. ''Menciptakan barang harus sekaligus membuka kemungkinan pasar,'' ujar sang presiden direktur. Kamera buatan Indonesia itu, Fujica MA-1, mulai unggul di pasar internasional. Pada 1984, ekspornya mencapai 140 ribu unit, 58% jatuh di Prancis.”

Ternyata kamera plastik ini diproduksi oleh PT. Honoris Industry, sebuah sub perusahaan dari PT. Modern Photo Tbk yang telah menjadi distributor tunggal di Indonesia dari Fuji Film Jepang semenjak tahun 1971.

Dari pabrik PT Honoris Industry yang terletak di Bekasi inilah konon Indonesia memproduksi kamera filmnya yang pertama, dan kamera pertama buatan Indonesia itu adalah Fujica MA-1/M1. PT Honoris hanya membayar royalti kepada Fuji Film dan mereka pun bebas untuk menjual kamera produksinya sendiri ke seluruh dunia.

Jadi Fujica tipe MA-1 hanya sekedar nama lain dari Fujica M1 yang beredar di beberapa negera, seperti Jepang dan Perancis. Sedangkan tipe M1 hanya diedarkan di Indonesia.

Fakta tersebut juga yang akhirnya menjawab pertanyaan mengapa kamera Fujica M1 ini begitu mudah untuk ditemui di berbagai pasar loak di Indonesia. Saya juga membeli kamera ini dari pasar loak dengan harga yang murah dan bagi yang belum melihat, hasil roll pertama saya dengan fujica M1 ini pernah saya posting disini.

Saya bangga dengan fakta bahwa Fujica M1 adalah buatan Indonesia. Setidaknya jika China mempunyai Holga dan Diana, Indonesia mempunyai Fujica M1 yang keberadaannya kameranya kini menjadi cult diantara para lomographer dan penggemar toy camera.

Dan foto-foto berikut adalah beberapa hasil dari roll film Ilford Delta 3200 dan Lomo X-Pro yang saya habiskan dengan kamera Fujica M1 yang dalam satu atau dua bulan terakhir ini, selalu saya bawa berpergian kemana saja.

Oh iya, untuk review Fujica M1 yang saya tulis di website fourdarkcorners, bisa dilihat disini.