Sunday, April 30, 2006

Menjadi Indonesia


Dari dulu gw selalu malas jika berhadapan dengan pelajaran yang berkaitan dengan Pancasila. Dari SD sampai perguruan tinggi, kita mengenal apa yang dinamakan PMP (Pendidikan Moral Pancasila), P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) ataupun Kewarganegaraan. Menurut gw semua pelajaran tersebut terlalu mengada-ngada, memuat banyak wacana utopis, yang tidak realistis dengan keadaan yang tengah terjadi.

Sampai pada semester ini, gw akhirnya mengambil mata kuliah umum Pancasila. Seharusnya mata kuliah ini bisa gw ambil pada semester-semester awal, tetapi karena dari dulu gw selalu memiliki pandangan negatif terhadap pelajaran yang berkaitan dengan Pancasila, akhirnya dengan terpaksa dan juga karena kemungkinan semester ini adalah semester terakhir gw, gw mengambil mata kuliah Pancasila tersebut.

Yang mengejutkan, ternyata pendidikan Pancasila yang selama ini gw anggap selalu negatif, sudah berubah ke arah yang lebih baik. Mungkin ini pengaruh perubahan kurikulum juga. Sekarang ini pendidikan Pancasila yang gw ikuti lebih mengkhususkan diri kepada pandangan filosofis dari sila-sila Pancasila dengan hubungannya dengan situasi yang tengah terjadi sekarang ini. Sungguh menarik. Di kelas, gw membicarakan mulai dari pemikiran Karl Marx sampai kasus UU Pornografi. Pembahasannya pun sangat kritis dan terbuka. Jadi kita pun tidak ragu-ragu untuk terus memberikan pendapat kita pribadi terhadap subjek yang sedang dibahas di kelas. Untuk tugas terakhir sebelum ujian akhir semester, gw diberi tugas untuk membuat essay singkat 1 halaman mengenai Indonesia dari berbagai sudut pandang. Boleh mengkritik, boleh memuji, terserah kita. Dan inilah essay gw tersebut yang baru saja gw kumpulkan tadi pagi.



Menjadi Indonesia





Menjadi Indonesia disaat semua orang mengagung-agungkan Ketuhanan,
tetapi sesungguhnya mereka tidak pernah mengenal Tuhannya dengan baik. Tuhan
bagi mereka hanya menjadi fashion belaka. Hanya sebuah simbol tanpa substansi.
Hanya sebuah perayaan tanpa perenungan. Sila ke-1 dari Pancasila yang diucapkan
oleh para siswa dari SD sampai SMU setiap hari Senin juga berakhir menjadi
kalimat tak bermakna, membosankan yang harus diucapkan setiap minggunya. Sayang
sekali sebuah kalimat indah yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” berakhir
tak ubahnya seperti sebuah slogan iklan.





Menjadi Indonesia adalah situasi dimana orang tidak pernah
sungguh-sungguh merdeka. Bahwa sampai hari ini pun, sesungguhnya kita belum
merdeka. Kita masih dijajah. Dijajah oleh nafsu untuk mendapatkan apa yang
sebenarnya bukan menjadi hak kita. Penjajahan materi serta moral yang kian menggerogoti
seluruh masyarakat di negeri ini. Pelan tapi pasti. Pelan pasti mati.





Menjadi Indonesia dimana keadilan tidak lagi mendapatkan tempatnya
secara adil. Yang kaya akan semakin kaya. Dan yang miskin akan semakin miskin.
Suatu keadilan sosial bagi sebagian masyarakat Indonesia.





Menjadi Indonesia dimana kebenaran menjadi ambigu. Berada di wilayah
abu-abu. Yang tidak benar bisa dipolitisir menjadi benar. Yang benar bisa
menjadi tidak benar. Jika begitu apakah tidak ada yang benar-benar menjadi
benar? Atau apakah yang benar-benar tidak benar itu benar?





Menjadi Indonesia jika kejujuran itu menjadi sebuah harta tak ternilai
dan sulit untuk didapatkan. Lebih bernilai dibandingkan minyak dan segala
kekayaan alam lainnya di negeri ini. Tetapi ironisnya masyarakat terlalu takut
untuk menggali kejujuran. Entah takut karena apa atau takut ke siapa. Atau
mungkin masyarakat tidak pernah tahu dengan apa yang namanya kejujuran. Karena
kejujuran itu terletak jauh di bawah permukaan. Tertimbun oleh segala harta
duniawi.





Menjadi Indonesia disaat kita terlalu serakah untuk mengakui semua
pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke adalah bagian dari negeri ini. Karena
lebih baik merelakan sebagian untuk pergi. Daripada memaksa mereka untuk
tinggal di negeri ini tetapi negeri ini juga tidak menjamin mereka untuk hidup
dengan adil dan makmur seperti yang telah dijanjikan.





Menjadi Indonesia mengajarkan kita untuk tidak belajar dari pengalaman
dan situasi buruk yang telah terjadi di masa lalu. Karena sejarah di negeri ini
tidak lebih dari sekedar dongeng atau cerita rakyat. Yang terus membuai kita
hingga tertidur. Dan terus tertidur.





Setelah semua kesengsaraan yang terjadi, untungnya negeri ini masih
bernama Indonesia. Dan untungnya Pancasila juga masih disebut sebagai dasar
negara. Semua itu tidak akan berubah. Begitu juga lagu Garuda Pancasila. Walau
menjadi ironis jika sekarang kita menyanyikannya kembali. Garuda Pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot proklamasi/Sedia berkorban
untukmu/Pancasila dasar negara/Rakyat adil makmur sentosa/Pribadi bangsaku/Ayo
maju maju/Ayo maju maju/Ayo maju maju











Thursday, April 27, 2006

MixCD


Gw ambil dari jurnal ivan. Sebuah mixCD yang mungkin bisa diberikan kepada teman, yang
didasarkan atas jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini :

1. Song from the last record bought:
Pergi Tanpa Pesan by Sore

2. Blues: not a necessarily a blues record but a song that is labelled '(something) blues':
Blues Run The Game by Jackson C Brown

3. Song that gets you going in the morning :
Sunday Morning by The Velvet Underground

4. Romantic song :
La Vie En Rose by Louis Armstrong

5. Song discovered from a film :
A Waltz for A Night by Julie Delphy

6. Song from favourite band / artist :
Marx and Engels by Belle and Sebastian

7. Song from an artist/band that you otherwise don’t like, but like this one :
Absolutely Zero by Jason Mraz

8. A Lullaby :
Golden vein by Cocteau Twins

9. Song without words:
Gymnopedie no 1 by Eric Satie

10.Song that makes you laugh / you find funny :
Everybody Knows (Except You) by The Divine Comedy

11.Really good cover version :
Across The Universe by Fiona Apple

12.Song that reminds you of school days :
Ten Story Love Songs by The Stone Roses

13.Your "guilty pleasure" song :
Bukan Pujangga by Base Jam

14.Funky song :
Unreleased by Squarepusher

15.Song for those quiet rainy days :
Concerning The UFO Sighting Near Highland, Illinois by Sufjan Stevens

16.Feel good song :
Sunday by Nick Drake

17.A song with the word ‘Look’ in the title :
The look of Love by Dusty Springfield

18.From a member of the ‘Dead rockers society’:
John Lennon - Bless You

19.Song under 1 minute :
Rachel’s Flat by Badly Drawn Boy

20.Best song from your fav band's worst album :
Waiting For The Moon by Belle and Sebastian

21.Song that makes you cry :
Sweet Song by Blur

22.Any song - make it flow :
The Waltz by Siljie Nergaard

Title = What Uniform Can I Wear to Hide My Heavy Hard?
Description =
Waktu : Lebih baik didengarkan saat malam menjelang atau saat menyambut senja
Mood : Suasana hati sedang tidak terlalu gembira, sedikit sepi atau hampa namun tidak putus asa



Sunday, April 9, 2006

OST Berbagi Suami

Rating:★★★★★
Category:Music
Genre: Soundtracks
Artist:Various Artist
Akhirnya Indonesia bisa menciptakan scoring film sebagus ini. Sebuah pencapaian bagi dunia perfilman di Indonesia. Sudah sepatutnya, scoring film diperlakukan dengan sangat serius. Tidak hanya menjadi backsound dari visual saja. Dikerjakan seadanya, dengan hanya menggunakan synthesizer. Sehingga hasilnya seringkali terasa nanggung, tidak optimal, dan tanpa ada muatan emosi yang kuat.

Visual dan musik latar harus saling bersinergi dan seirama sehingga penonton bisa merasakan kedramatisan dari visual yang ditampilkan. Untuk itu, penggunaan alat musik juga harus diperhitungkan. Dan agar mendapat muatan emosi yang diinginkan, musik yang dihasilkan haruslah keluar dari instrumen asli yang dimainkan oleh manusia. Dan bukan bebunyian hasil rekayasa komputer. Karena idealnya, musisi yang terlibat dalam pengerjaan scoring film harus mencermati setiap adegan yang ada untuk bisa menjiwai nuansa apa yang ingin ditampilkan oleh film tersebut melalui alat musik yang mereka mainkan.

Proyek soundtrack Berbagi Suami adalah kali kedua Kalyana Shira Films bekerjasama dengan Aksara Records. Sebelumnya adalah proyek soundtrack Janji Joni yang banyak menampilkan band-band independent ibukota yang layak diperhitungkan. Seperti pada album soundtrack Janji Joni yang menampilkan scoring dan juga original music, album soundtrack Berbagi Suami juga masih menggunakan formula yang sama, tapi kali ini porsi untuk scoringnya lebih besar daripada original musicnya.

Music Director dari album ini adalah Aghi Narottama (Lain/Ape on The Roof) serta Bemby Gusti, dan Ramondo Gascaro yang juga merupakan personil dari grup Sore yang albumnya juga telah dirilis oleh Aksara Records. Dalam album ini mereka bekerjasama dengan Riza Arsyad (Simak Dialog/Reborn) dan untuk orchestranya dipercayakan kepada Magenta Orchestra. Beberapa materi album ini adalah karya-karya lama maestro Indonesia seperti Ismail Marzuki dan Gesang yang diaransemen ulang.

Jika didengarkan sepintas, album soundtrack ini mempunyai semangat yang sama dengan soundtrack film film Wong Kar Wai. Secara Nia Dinata juga menggunakan pendekatan ala Wong Kar Wai dalam penyutradaraan film ini. Hal tersebut bisa terlihat dari scoring dan juga penyajian musik musik tua dalam film. Untuk scoring, persamaannya ada dalam penggunaan satu musik tema yang sama, yang berulang pada setiap bagian film. Tetapi dengan nuansa yang berbeda yang dihasilkan dari penambahan alat musik pada setiap bagiannya. Seperti pada bagian Salma yang menampilkan string section pada latarnya yang berpadu dengan Cello yang menjadi melodi utamanya. Atau pada bagian Ming, yang menyajikan suara piano untuk dasar lagunya (yang menurut gw seperti Gymnopedie no 1 dari Eric Satie) dan suara trumpet untuk melodinya. Gaya scoring seperti itulah yang pernah dilakukan Michael Gallaso dalam film In The Mood For Love karya Wong Kar Wai.

Dalam penyajian musik musik tua, Wong Kar Wai juga pernah melakukannya dalam film filmnya. Seperti pada In The Mood For Love yang menampilkan musik dari Nat King Cole atau juga dalam film terbarunya, 2046 yang menampilkan musik musik dari Xavier Cugat, Connie Francis dan Dean Martin. Dalam Berbagi suami, musik musik tua tersebut ditampilkan ke dalam bentuk baru melalui aransemen yang menakjubkan. “Pergi Tanpa Pesan” dibawakan kembali oleh Sore dengan indahnya. Suara Akordeon pada intronya menjadi jembatan yang sempurna untuk mengawal suara Ade Paloh yang menggetarkan, mengiringi kepergian tokoh Siti (Shanty) meninggalkan rumah Pak Lik (Lukman Sadri) secara diam diam dalam film. Scene tersebut sebenarnya sangat biasa, tetapi dengan iringan lagu “Pergi Tanpa Pesan” dari Sore, adegan tersebut menjadi luar biasa. Lalu ada “Sabda Alam” karya Ismail Marzuki, yang dibawakan oleh White Shoes and The Couples Company. Intro dan lagu yang mempunyai irama yang berbeda patut diacungi jempol. Penyambungannya pun sangat rapi.

Lagu “Bengawan Solo” juga ditampilkan dengan aransemen yang indah. Dengan suara string yang bersahut sahutan dengan piano, flute dan trumpet serta iringan perkusi yang menjadi ritemnya. Untuk vokalnya menampilkan perpaduan vokal yang cemerlang antara Tika, Ade Paloh dari Sore dan Sari dari White Shoes. Untung saja Ikke Nurjanah tidak lagi mengisi vokal, seperti dalam filmnya. Selain itu, ada juga lagu tua “Aksi Kucing” yang ditampilkan dari rekaman originalnya. Lagu bernuansa ragtime tersebut mempunyai lirik yang jenaka yang gaya penulisannya sudah dilupakan oleh musik Indonesia saat ini.

Secara keseluruhan, penggalian kembali musik musik tua tersebut merupakan langkah cerdas, terutama untuk generasi muda saat ini, yang mungkin tidak akan pernah tahu, bahwa Indonesia pernah menghasilkan musik musik sebagus itu. Salut juga kepada David Tarigan dari Aksara Records, yang kalau tidak salah juga merupakan musik supervisor dalam soundtrack ini. Sepertinya koleksi piringan hitam Indonesianya yang sangat banyak, menjadi suatu berkah tersendiri untuk album ini.Hehe..

Untuk itu, kemiripan dengan soundtrack film Wong Kar Wai pun tidak menjadi persoalan, karena semangat boleh sama tetapi yang terpenting eksekusinya terdengar berbeda dan sangat bagus hasilnya. Musik dalam film ini telah sukses menjadi bagian yang penting dari film. Karena musiknya sangat mengisi jiwa dari filmnya. Tidak sekedar menjadi pemanis visual.

Sudah seharusnya filmaker Indonesia lainnya keluar dari keterkukungannya selama ini dengan hanya menggunakan musisi itu itu saja untuk pembuatan soundtrack film. Seperti Melly Goeslaw dan Anto Hoed dengan karyanya yang repetitif dan overated atau Andi Rianto dengan karyanya yang selalu terlewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan yang mendalam. Atau juga penggunaan band band terkenal (yang sebenernya hanya menumpang promo untuk album barunya) untuk membantu promo film. Jadi simbiosis mutualisme tersebut juga harus segera ditinggalkan. Karena musik dalam film bukanlah dijadikan 'jualan' utama yang bisa mendongkrak popularitas dari suatu film. Karena musik dalam film sesungguhnya adalah jiwa dari film itu sendiri. Dan musik dari Berbagi Suami inilah adalah contoh yang paling tepat bagaimana seharusnya musik bisa selaras dengan visualnya. Sekali lagi Aksara Records terbukti jitu dalam memperkaya khazanah perfilman Indonesia yang semakin membaik sekarang ini.

Friday, April 7, 2006

Chaos and Creation in The Backyard

Rating:★★★★★
Category:Music
Genre: Pop
Artist:Paul McCartney
Apa yang diharapkan dari album baru seorang musisi veteran yang telah berumur diatas 60 tahun? Apakah hanya sebuah perayaan nostalgia dari romantisme lama yang hampir usang? Atau merupakan ajang pembuktian kepada dunia bahwa musikalitas mereka tidak akan pernah mati. Atau dengan kata lain, inilah kebangkitan baru dengan apa yang disebut Viagra Rock.

Seperti yang dilakukan oleh Neil Young, Neil Diamond, Rolling Stones dan juga Paul McCartney pada tahun 2005 lalu. Disaat teman-teman seangkatannya tidak lagi bermusik, dan hanya menikmati sisa kejayaan dengan damai di pedesaan atau pinggiran pantai, para viagra rockers tersebut, tanpa kenal lelah terus bekerja mempromosikan album barunya dengan melakukan berbagai interview media dan juga berbagi panggung dengan artis-artis baru yang mungkin seumuran dengan cucunya.

Gw masih ingat ajang Grammy yang baru saja diselenggarakan, album baru Paul McCartney ini, Chaos and Creation in the Backyard mendapatkan beberapa nominasi penting. Nama Paul McCartney harus bersaing dan bersanding dengan artis-artis yang mempunyai rentang usia yang jauh di bawah umurnya. Seperti Gwen Stephani dan John Legend, mungkin mereka tidak pernah membayangkan bisa berbagi nominasi dengan seorang anggota The Beatles yang juga merupakan salah satu pencipta lagu terbaik di dunia yang masih hidup.

Album Chaos and Creation in the Backyard memang lebih dari sekedar album nostalgia belaka. Karena di album ini McCartney terdengar seperti seharusnya anggota The Beatles yang baru saja mengeluarkan solo album. Album ini sangat menyegarkan.. Dengan menggandeng produser Nigel Godrich yang terkenal dengan produksinya untuk album Radiohead Ok Computer dan juga Kid A, McCartney seperti mendapatkan nyawa baru. Kabarnya Nigel Godrich tidak segan-segan untuk menyingkirkan materi-materi untuk album ini yang telah dibuat McCartney, yang tidak disukainya dan memutuskan untuk tidak merekamnya pada album ini. Sebuah langkah berani mengingat sejarah kediktatoran Paul McCartney jika sedang berada di studio. Bahkan John Lennon yang merupakan patner abadinya dalam mengarang lagu pun sering mengalah jika berdebat dengan McCartney di studio. Tampaknya McCartney sangat menginginkan album barunya ini terdengar berbeda dari album-album dia sebelumnya. Mungkin karena alasan tersebut, McCartney rela untuk menekan sedikit egonya kali ini. Hasilnya juga tidak sia-sia. Album ini adalah yang terbaik dari apa yang pernah dia lakukan selama karir solonya.

Paul McCartney sudah menciptakan ratusan single hit yang telah berkumandang di seluruh dunia hingga hari ini. McCartney sangat piawai dalam menciptakan melodi yang gampang diingat oleh jutaan orang di dunia ini. Untungnya hal tersebut tidak pernah berubah dari seorang Paul McCartney. Di umurnya yang telah mencapai 63 tahun, kemampuannya sebagai seorang pencipta lagu handal masih terbukti dengan baik. Seperti pada single pertama dari album ini yang juga merupakan track pembuka “Fine Line” menyajikan melodi yang catchy dan membangkitkan gairah untuk terus menikmati track-track selanjutnya dalam album ini. Stella McCartney, anaknya yang juga merupakan perancang busana terkenal, mungkin akan lega setelah mendengar lagu tersebut karena akhirnya ada lagu dari ayahnya yang bisa dipakai untuk mengiringi peragaan busananya. Lagu tersebut jauh dari kesan lagu kuno. Karena sangat menyenangkan dan modern.

Nigel Godrich juga sekali lagi bekerja dengan sangat baik. Dia sanggup untuk membalut nada-nada pop ala McCartney dengan kemasan baru, yang belum pernah Paul McCartney lakukan pada album-album solonya sebelum ini. Seperti pada “How Kind of You” dan juga “Riding to Vanity Fair” yang menyingkirkan sejenak image lagu-lagu manis dari McCartney. Di dalam dua lagu tersebut, penuh dengan nuansa minor dan sedikit kemurungan yang menggelayuti keseluruhan lagu. Irama lagu pun berjalan lambat dan cenderung statis. Durasi pada kedua lagu ini juga lebih panjang bila dibandingkan dengan lagu lain. Mood pada kedua lagu tersebut terasa lebih kontemplatif. Suatu hal yang jarang dilakukan oleh McCartney selama ini.

Tetapi Godrich tidak mau mengarahkan musik McCartney menjadi seperti itu semua. Dia sadar bahwa yang dihadapinya sekarang adalah salah seorang pencipta lagu pop terbaik dunia yang terkenal akan lagu-lagunya yang ear friendly dengan melodi yang kuat dan juga nada-nada yang manis. Maka dari itu lagu-lagu lain di album ini masih menyajikan lagu-lagu tipikal McCartney tetapi dengan produksi sound yang jauh lebih segar. Seperti pada lagu “Anyway” dan juga “Too Much Rain” yang menampilkan nada-nada melankolis ala McCartney. Ada “This Never Happened Before”, yang sangat melodius. Lagu ini juga menyuguhkan progresi kord yang sangat indah yang dirangkai dengan sempurna oleh McCartney. Lalu ada “A Certain Softness” yang memiliki sedikit sentuhan eksotis musik bossanova.

Lagu-lagu lainnya pada album ini mempunyai keterikatan yang kuat dengan lagu-lagu di era The Beatles yang telah McCartney ciptakan. Contohnya track “Jenny Wren” yang pasti akan mengingatkan kita akan “Blackbird”, dan juga ada “English Tea” dengan alunan string section seperti pada “Eleanor Rigby” Dan juga saat kita mendengar harmonisasi vokal di awal lagu “Promise to You Girl” yang membawa memori kita kepada lagu “Because” Entah apakah kesemuanya ada unsur ketidaksengajaan atau memang McCartney lebih nyaman dengan masa lalunya sebagai seorang The Beatles. Hal tersebut diperjelas dari sampul album ini yang menampilkan foto McCartney sewaktu muda.

Diluar kenyamanan McCartney dengan hidupnya di era the Beatles, gw selalu mengagumi McCartney sebagai seorang pencipta lagu pop yang sangat handal. Yang gw suka dari McCartney adalah kemampuan dia membuat nada yang sangat melodius. Entah bagaimana caranya untuk membuat lagu-lagu dengan nada-nada yang sangat mudah untuk diingat, tetapi juga tidak berakhir menjadi lagu kacangan. Lagu-lagu McCartney memang terkenal lebih ringan bila dibandingkan dengan lagu-lagu dari John Lennon yang terkenal lebih eksperimental dan lebih kontemplatif. Di dalam kehidupan ini, kita pun butuh musik-musik ringan yang mudah dicerna, seperti yang sering dihasilkan oleh Paul McCartney. Walaupun terkadang kita butuh perenungan dalam melihat hidup kita. Seperti yang sering dilakukan oleh John Lennon. Ibaratnya musik-musik Paul McCartney adalah musik untuk pagi hari, dan musik John Lennon adalah musik untuk malam hari. Tetapi di album ini, musik dari Paul McCartney tidak lagi hanya bisa dinikmati di pagi hari. Karena Paul McCartney telah melangkah lebih jauh. Dia telah keluar dari zona amannya selama ini. Tetapi juga tidak meninggalkan ciri khasnya yang telah melekat selama karirnya baik pada era The Beatles atau era solonya. Chaos and Creation in the Backyard adalah sebuah album comeback yang sangat berhasil. Sebagai seorang produser, lagi-lagi Nigel Godrich menuai sukses besar. Sekarang gw jadi membayangkan apa jadinya jika John Lennon masih hidup dan dia bekerja sama dengan Nigel Godrich? Sepertinya mereka akan menghasilkan sebuah album eksperimental yang lebih dahsyat daripada Kid A.