Monday, October 16, 2006

Sam's Town

Rating:★★
Category:Music
Genre: Alternative Rock
Artist:The Killers
The Killers merasa telah lelah. Lelah karena dianggap sebagai band yang mati-matian berusaha menjadi band Inggris, atau lelah karena dianggap menjadi sebuah band copycat yang banyak mengambil sisa-sisa peninggalan dari kejayaan new wave di tahun 80an, atau juga lelah menjadi sebuah band yang memiliki vokalis dandy yang diisukan sebagai seorang homoseksual.

Karena itulah melalui album kedua mereka yang bertajuk Sam’s Town, The Killers berusaha semaksimal mungkin untuk merubah citra mereka di masa lalu. Album ini memuat 13 lagu yang lebih suram, lebih kotor dan tentunya lebih ‘Amerika’ dibandingkan lagu-lagu mereka dalam album debutnya yang memang terdengar seperti band dari dataran Eropa. Seiring dengan itu, vokalis Brandon Flowers juga menghapus eyeliner di sekitar matanya dan tidak lupa untuk menanggalkan segala atribut kedandyannya dan menggantinya dengan setelan rapi ala jaman wild west yang disempurnakan dengan bulu-bulu halus - lambang kejantanan pria - yang sengaja dibiarkan tumbuh di sekitar wajah manisnya.

Album ini memang menampilkan perubahan yang cukup signifikan bila dibandingkan album debut Hot Fuss. Tetapi perubahan tersebut terasa dipaksakan dan juga kurang matang. Banyak lagu dalam album ini terdengar seperti lagu-lagu yang dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kuota album saja atau memang sengaja dibuat hanya untuk mengikuti perubahan citra visual dari para personil The Killers.

Singel pertama “When You Were Young” memang sangat tepat untuk menunjukkan bahwa The Killers telah meninggalkan segala kegemerlapannya untuk menuju ke sebuah pinggiran kota yang kumuh di dekat hamparan padang pasir yang kering dan panas. Namun lagu-lagu lainnya, seperti “Bling (confessions of a king)”, “This River is Wild” dan juga “Uncle Johnny” terdengar seperti perpanjangan saja dari singel “When You Were Young”. Mereka masih mengambil formula yang sama, tidak ada kejutan yang berarti dan membuat lagu-lagu tersebut menjadi membosankan untuk didengar. Untungnya masih ada lagu “Bones” yang cukup menyegarkan. Dengan tambahan brass section dan reffren yang cukup catchy membuat lagu ini seperti oase ditengah padang pasir yang kering.

Selain rasa bosan, saya juga merasa lelah saat mendengarkan album ini. Bisa jadi dikarenakan oleh usaha mereka untuk berubah yang terdengar ngoyo dan akibatnya baru sampai pada pertengahan album, mereka sudah terdengar ngos-ngosan. Atau mungkin saya lelah karena terus-terusan mendengar vibra Brandon Flowers yang semakin kesini semakin mirip dengan Meat Loaf. Vokalnya juga sering tidak selaras dengan musik. Jika Brandon Flowers tidak menciptakan lagu dan juga tidak mempunyai penampilan fisik yang menjual, mungkin dia sudah dipecat dari dahulu kala oleh teman-teman satu bandnya. Dalam album ini, nafsu The Killers untuk berubah memang sangat besar namun sayang tenaga mereka kurang.


Wednesday, October 11, 2006

Sebuah senja yang takkan terlupakan

Semarang, 16 Agustus 2006. Hari itu Ballads akan bermain di universitas katolik Sugiapranata. Semenjak tiba di Semarang, saya memang berencana untuk mengunjungi rumah eyang saya yang berada di kota Ungaran, sekitar 30 menit perjalanan dari kota Semarang. Saya juga sudah mengutarakan niat tersebut kepada Felix, manager saya. Tadinya saya ingin ke Ungaran di pagi hari, sebelum ceksound siang harinya. Tetapi ternyata sebelum ceksound, Ballads harus melakukan sesi wawancara di radio Prambors. Jadilah saya menunda niat saya tersebut. Ceksound baru selesai sore hari. Setelah ceksound kami semua balik ke hotel. Ballads sendiri dijadwalkan manggung pukul 9 malam.


Karena sore itu adalah satu-satunya kesempatan kami serombongan untuk jalan-jalan di Semarang, sebelum besok pagi berangkat ke Jogja, maka disusunlah rencana jalan-jalan itu. Di situ saya menjadi bimbang. Antara ingin jalan-jalan atau ke rumah eyang saya. Apalagi setelah mendapat cerita dari panitia bahwa pemandangan kota tua di Semarang sangatlah indah. Cocok untuk objek foto. Tetapi hati kecil saya tetap ingin berkunjung ke rumah eyang, walau hanya sebentar.


Maka berangkatlah saya ke Ungaran. Felix hanya berpesan agar saya tidak mepet balik ke hotel, agar sebelum panitia datang menjemput, saya masih bisa mandi dan beres-beres terlebih dahulu. Sebelum berangkat saya menelepon dulu kesana, memberitahu bahwa saya akan datang berkunjung. Waktu itu om saya yang mengangkat telepon. Dengan berbekal alamat dan nanya sana sini, sampailah saya ke rumah eyang.


Terakhir berkunjung ke Ungaran sekitar tahun 1998, saat eyang saya merayakan 50 tahun ulang tahun perkawinan. Karena itulah saya sedikit lupa lokasi persisnya. Saat tiba di pagar depan rumah, saya melihat eyang kakung saya sedang bersantai di teras depan. Di samping tempat duduknya ada sebuah alat bantu untuk berjalan. Sudah 5 tahun belakangan ini eyang kakung saya terkena pengapuran yang menyebabkan ia tidak bisa berjalan dengan sempurna. Walau keadaan kakinya memprihatinkan, tubuhnya masih terlihat segar untuk orang berusia 82 tahun.


Wajahnya langsung tersenyum sumringah saat melihat saya datang. Saya langsung menyalami dan mencium pipinya. Tidak berapa lama, eyang putri saya datang bergabung. Disusul juga om saya, yang merupakan adik terkecil ayah saya yang memang tinggal di rumah itu. Jadilah saya di saat itu bersama kedua eyang dan juga om saya, menghabiskan senja bersama di teras depan. Sebuah senja yang tidak akan saya lupakan.


Eyang kakung saya masih mengingat dengan jelas kapan terakhir saya datang ke rumah itu. Saya sendiri sampai malu karena jarang sekali berkunjung kesana. Seperti biasa, saat saya bertemu dengan sanak saudara selalu ada pertanyaan mengenai kabar terakhir dari kegiatan akademis saya. Eyang kakung saya juga bertanya hal yang sama. Dia menanyakan kapan saya menyelesaikan kuliah. Seperti biasa juga, saya selalu menjawab dengan senyum dan berkata ”Sebentar lagi kok, doain aja.”


Eyang kakung saya sepertinya sangat senang akan kedatangan cucu pertamanya ini. Dia langsung menyuruh eyang putri saya untuk menyiapkan makan malam. Lalu juga menyuruh om saya menyiapkan makanan-makanan kecil beserta teh hangat untuk saya. Tadinya saya juga disuruh menginap disana. Lalu saya menjelaskan bahwa saya ada jadwal manggung juga esok harinya di Jogja. Jadi pagi-pagi sekali saya harus meninggalkan kota Semarang. Eyang saya bisa memaklumi keadaan tersebut, walau tampak sedikit kekecewaan di wajahnya.


Kami mengobrol banyak hal di senja itu. Sampai akhirnya matahari semakin beranjak turun. Akhirnya pertemuan singkat tersebut ditutup dengan makan malam bersama. Berulangkali eyang kakung menyuruh saya agar cepat bergegas balik ke hotel, karena takut gara-gara saya terlalu lama di sana akhirnya saya jadi telat datang ke tempat pertunjukkan. Akhirnya yang panik jadi eyang saya. Saya sendiri masih tenang-tenang saja. Karena anak-anak yang lain juga belum menghubungi saya agar cepat balik ke hotel. Memang eyang kakung saya itu gampang sekali panik.


Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Memang sudah waktunya saya balik ke hotel. Saya pamit ke eyang putri, om dan saudara-saudara saya yang tinggal di rumah itu. Begitu juga saya pamit pulang ke eyang kakung saya. Sambil menyalami dan mencium pipinya, saya meminta doanya agar saya cepat lulus dengan lancar. Seraya membalas ciuman saya dia berkata “Iya eyang selalu mendoakan mas Rio.” Mas Rio adalah panggilan saya di lingkungan keluarga.


Lalu sampailah saya di hari ini. Tidak pernah saya bayangkan bahwa senja itu adalah pertemuan terakhir saya dengan eyang kakung. Kemarin pagi dia meninggal dunia dengan damai. Kata ayah saya, eyang meninggal seperti orang tidur. Saya sangat terkejut saat mendapat kabarnya. Sebelumnya saya tidak mendengar kabar eyang kakung saya sakit keras. Sayang sekali saya baru mendapat kabar duka itu setelah siang hari. Saya tidak menyadari hp saya mati dari pagi karena low batt. Karena itu saya tidak sempat datang ke Ungaran untuk menghadiri pemakamannya sore kemarin.


Saat ini saya hanya bisa mendoakan saja dari jauh. Semoga eyang berbahagia di atas sana. Maafkan mas Rio karena eyang belum sempat melihat mas Rio lulus. Selamat jalan eyang...Tuhan memberkati.

Tuesday, October 3, 2006

Futuresex/Lovesounds

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Justin Timberlake
Saat pertama kali mendengar singel terbaru dari Justin Timberlake, saya langsung berdecak kagum. Rasanya lagu ini tidak akan pernah mungkin dirilis oleh seorang pemuda yang enam tahun lalu - dengan rambut pirang nan kriwilnya - menyanyikan “Bye, Bye, Bye” dengan berlagak menjadi string puppet di videoklip yang membuat ia dan teman-teman satu grupnya terlihat semakin culun. Lagu “SexyBack” yang merupakan singel pertama dari album keduanya yang berjudul FutureSex/LoveSounds mampu membuat orang semakin melupakan ‘dosa masa lalunya’ saat masih bergabung dengan boyband bernama N’Sync. Justin Timberlake tahun 2006 adalah Justin yang semakin dewasa, dalam hal ini ia semakin serius dalam bermusik. Syukurlah dia tumbuh dewasa dengan orang-orang tepat disekelilingnya.

Jika pada album terdahulu ada seorang jenius bernama Pharrel Williams, kali ini ada produser bernama Timbaland yang juga sangat besar pengaruhnya dalam membentuk dunia baru dari Justin Timberlake disaat ini, dimana Kraftwerk menggantikan peran The Beatles dan Prince lebih dihormati dibandingkan Elvis Presley. Album ini dipenuhi oleh berbagai suara synth olahan Timbaland yang berpadu dengan groove drum yang ketat yang membalut setiap lagunya yang sarat akan nuansa RnB, Dance, Rock dan Funk. Suara Justin juga tidak luput dari permainan bunyi dari Timbaland. Seperti pada “SexyBack” yang menyuguhkan vokal Justin dengan sedikit distorsi.

Pada lagu “Sexy Ladies” kita dibawa akan kegemerlapan synth tahun 80an, lengkap dengan suara slap bass yang bermain dengan nafas funk. Dalam “My Love”, suara synth mengalun lambat dan bergerak fade in dan fade out mengiringi falsetto andalan Justin. Sedangkan dalam “What Goes Around” menampilkan intro berbau musik ala timur tengah yang pada kelanjutannya menyatu sempurna dengan beat drum khas musik RnB semi balada. Lagu ini sepertinya masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan lagu “Cry Me a River” yang dimuat dalam album debut Justin yang bertajuk Justified.

Yang menarik ada sebuah lagu balada yang mempunyai nuansa yang sangat berbeda dibandingkan lagu-lagu lain dalam album ini. Tidak ada lagi bebunyian synth dan ritme drum yang akrobatik. Lagu ini berjudul “(Another Song) All Over Again” yang merupakan satu-satunya produksi dari produser gaek Rick Rubin di album ini. Lagu ini juga merupakan sebuah penghormatan untuk mendiang Donny Hathaway, seorang penyanyi soul kulit hitam idola Justin. Tetapi lagu ini mungkin lebih tepat jika dinyanyikan oleh Alicia Keys yang memiliki suara soul yang lebih solid dibandingkan dengan Justin. Entah mengapa, menurut saya suara Justin tidak berhasil dalam meniupkan nafas Soul/RnB di lagu ini. Walau bagaimanapun, lagu ini tetap terdengar indah.

Setelah mendengarkan album ini, saya menjadi bertanya-tanya, apa lagi yang akan dihasilkan seorang Justin Timberlake di album selanjutnya. Mengingat album keduanya ini sama sekali tidak terdengar seperti sebuah album yang hanya ingin mengulang kesuksesan album pertama. Justin selalu membawa angin segar dalam setiap albumnya. Album ini juga memperlihatkan bahwa karirnya masih akan terus bersinar di masa depan, dan mungkin akan membuat julukannya sebagai the next king of pop kian mendekati kenyataan. Sebuah kenyataan yang akan membuat Britney Spears - yang kini kian gemuk dengan kondisi keuangan yang juga semakin menipis karena terus diporoti oleh pasangannya yang jobless - semakin menyesal telah melepaskan Justin.

Monday, October 2, 2006

Paris

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Pop
Artist:Paris Hilton
Kini lengkaplah sudah semua syarat yang menjadikan Paris Hilton sebagai seorang ikon penting dari budaya pop di abad 21 ini. Ia mempunyai acara televisi, menjadi seorang model, menulis buku, bintang iklan, bermain film baik itu “independen” ataupun produksi Hollywood dan kini menjadi seorang penyanyi yang baru saja merilis album debutnya. Seorang Paris Hilton mengeluarkan album rekaman? Pasti banyak orang akan menyangsikan kualitas albumnya tersebut. Mengingat masih berlimpahnya warisan dari kakek buyutnya Conrad Hilton, yang membuat Paris bisa melakukan dan memiliki segala hal di dunia ini, termasuk juga bisa membuat album rekaman dengan begitu mudahnya, terlebih disaat ribuan orang di dunia ini yang jauh lebih berbakat darinya bersusah payah untuk bisa menghasilkan sebuah album.

Tetapi sungguh tidak adil jika kita sudah lebih dulu mencap negatif album ini sebelum mendengarkannya. Menurut saya materi di album ini tidak sebegitu buruknya. Walaupun juga tidak bisa dibilang bagus. Mungkin akan lebih bijak jika menyebut album ini sebagai album yang lumayan. Yang pasti album ini adalah album yang memang sepatutnya dibuat oleh seorang gadis pirang yang populer, selalu terlihat dangkal, hanya suka berpesta dan sering terlibat affair dengan banyak pria. Kita tidak bisa mengharapkan sesuatu yang mengagumkan terjadi dalam album ini. Jika kita ingin mendengar album pop dengan kualitas vokal di atas rata-rata, saya meyarankan dengarlah album Christina Aguilera. Jika ingin mendengar album dengan lirik cerdas, lebih baik mendengar album Bob Dylan ataupun Morrisey.

Kita tidak bisa menyalahkan disaat Paris menyanyikan lirik “Everytime I turn around the boys fightin over me / Everytime I step out the house they want to fight over me / Maybe cuz im hot to death and im so so so sexy” pada lagu “Fighting Over Me” Kita juga bisa memaklumi disaat Paris berkata “Everybody's looking at me / But it's alright / I like attention / The clubs not hot until I walk through / They stop and stare and watch me move” di lagu “Turn You On” Toh yang bernyanyi dalam album ini adalah Paris Hilton, yang kehidupannya memang sarat akan muatan hedonisme yang tinggi.

Pemilihan singel pertama “Stars Are Blind” adalah pilihan yang tepat. Lagu ini terasa menyegarkan dengan melodinya yang ramah di telinga, walaupun nuansa lagu secara keseluruhan mengingatkan saya akan kejayaan UB40 di pertengahan tahun 90an. Lagu yang juga cukup ramah di telinga adalah “Heartbeat” yang kali ini mengingatkan saya pada sebuah lagu lawas milik Cyndi Lauper yang berjudul “Time After Time”

Lagu-lagu lainnya dalam album ini memang tipikal lagu-lagu Bubblegum Pop yang diusung oleh banyak penyanyi pop wanita dewasa ini, seperti Hillary Duff ataupun Lindsey Lohan. Tetapi yang menjadikan album ini menjadi lebih istimewa karena album ini adalah penggambaran yang jujur dan apa adanya dari kehidupan seorang pesohor kelas dunia bernama Paris Hilton. Dia tidak berusaha menjadi cerdas dan berharap mendapat review album dengan nilai diatas 7.0 di Pitchforkmedia. Citra Paris Hilton dalam album ini tetaplah sebagai Paris Hilton yang selama ini kita lihat di berbagai media lengkap dengan segala kisah kontroversialnya yang sering mengundang caci maki banyak orang. Mungkin Paris sendiri sudah cukup kebal terhadap pendapat miring mengenai dirinya. Begitu juga terhadap banyaknya review negatif mengenai debut albumnya ini. Lagipula seburuk apapun review mengenai albumnya, Paris masih akan selalu berkata “That’s Hottt”, dengan senyuman yang menggoda.