Wednesday, April 25, 2007

Underrated Favourites








Belum lama ini,
saya kembali menelusuri file-file mp3 yang ada di komputer saya. Hal ini sering
saya lakukan di saat senggang. Mencari dan lalu mendengarkan kembali dengan
lebih intens album-album atau lagu-lagu yang sebelumnya jarang saya dengarkan
yang bisa jadi adalah ‘harta karun’ yang terpendam yang selama ini tidak saya
sadari.

Lalu penelusuran
saya kali ini sampai kepada album-album bagus yang dihasilkan oleh band-band
yang kebetulan kurang mendapat perhatian dari banyak orang maupun dari berbagai
media. Kurangnya perhatian terhadap band-band ini bukan disebabkan oleh materi
yang tidak bagus, namun mungkin saja karena faktor promosi atau distribusi dari
album-album tersebut yang kurang baik sehingga musik mereka belum bisa didengar
oleh banyak telinga di luar sana. Biasanya band-band inilah yang sering disebut
sebagai underrated bands. Berikut ini adalah band-band underrated berikut album
mereka yang saat ini sering saya dengarkan. Silahkan mendownload disini, jika
ingin mendengarkan beberapa lagunya.





1. June and The Exit Wounds - A Little More
Haven Hamilton, Please,
Parasol,
1999



June and The Exit Wounds adalah sebuah alter ego dari seorang pemuda
asal Chicago yang bernama Todd Fletcher. Melalui album debutnya ini, June and
The Exit Wound dengan sukses menghidupkan kembali romantisme dari kejayaan Todd
Rundgren di awal tahun 70an yang digabungkan dengan harmonisasi suara ala Beach
Boys. Track favorit saya dalam album ini ialah “How Much I Really Love You”,
sebuah mid-tempo ballads yang mengagumkan dengan nuansa yang kurang lebih sama
dengan “I Saw The Light” milik Todd Rundgreen. Suara Todd Fletcher yang indah -
terlebih jika ia menggunakan tehnik falsettonya yang sangat halus - akan selalu
mengingatkan saya pada vokal Carl Wilson. Namun semua pengaruh dari berbagai idola
Todd Fletcher tadi tidak menjadikan June and The Exit Wound sebagai sebuah band
copy cat atau juga sebagai band kover dari lagu-lagu Todd Rungreen maupun Beach
Boys. Todd Fletcher dengan piawai menggabungkan berbagai pengaruh dari idolanya
tersebut dengan elemen-elemen soft pop sentimentil yang kuat yang dimiliki
dirinya, menghasilkan
sebuah album dengan koleksi terbaik dari lagu-lagu pop yang
cerah dan penuh kehangatan. Album ini adalah artifak berharga dari
penghujung tahun 90an yang sayang sekali terlupakan.





2. Tenderfoot – Without
Gravity
, One Little Indian, 2005



Jika The Album
Leaf, sebuah band asal Amerika mencoba membuat musik-musik dingin dan gelap
seperti kebanyakan musik yang dihasilkan dari Islandia, maka Tenderfoot adalah kebalikannya.
Tenderfoot yang berasal dari Islandia menciptakan musik yang terdengar sangat
Amerika, dengan nuansa country folk yang cukup kental. Ketika banyak musisi di
Islandia mengutak-ngatik amplifer serta efek gitar mereka agar menghasilkan
sound yang paling gelap dan dramatis, empat orang pemuda yang terdiri dari Konni
(gitar) and Kalli (gitar dan vokal), Grimsi (drum dan vokal), dan Helgi
(double-bass) malah membiarkan suara intrumen mereka senatural mungkin, agar
tercipta sound akustik yang hangat dan nyaman untuk didengar. Suara Kalli yang
lirih dan menenangkan memang membawa kedamaian tersendiri saat mendengarnya. Di
beberapa sudut di album ini saya juga merasakan aura Nick Drake yang cukup
kental. Album ini menawarkan suatu kedekatan yang intim dan kehangatan dari
sebuah kebersamaan, serta rasa saling berbagi gagasan dan emosi. Yang semuanya
itu berada jauh dari dunia yang jahat dan berbahaya di luar sana.





3. Art of Fighting – Wires, Trifekta, 2001



Wires adalah
debut album dari indie rockers asal Australia yang beranggotakan kakak beradik
Ollie Browne (vokal dan gitar), dan Miles Browne (gitar, trumpet) serta mantan
kekasih dari Ollie, Peggy Frew (bass), dan seorang kerabat dari Ollie yang
bernama Marty Brown (drum). Musik Art of Fighting terinspirasi dari romansa
jazz tahun 30an, post-grunge abstrak rock yang minimalis serta musik pop
yang muram. Album Wires adalah eksplorasi yang melankolis terhadap
karakteristik cinta melalui melodi-melodi yang halus dan indah yang akan
mengangkat sisi sentimentil setiap orang yang mendengarkan album ini. Art of Fighting juga sangat lihai dalam permainan membangun mood dalam setiap lagunya.
Lagu-lagu seperti “Akula” atau “Reason Are All I Have Left” adalah suatu bentuk
dari kesedihan yang terorganisir dengan sangat rapi. Jika membutuhkan album
penyemarak duka setelah ditinggalkan oleh kekasih, album ini adalah salah satu
pilihan yang terbaik.











Tuesday, April 24, 2007

The Boy With No Name

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Alternative Rock
Artist:Travis
Ketika Fran Healy dan ketiga kawannya membentuk Travis sepuluh tahun yang lalu, mereka pasti tidak akan pernah menyangka bahwa musik mereka akan mempengaruhi banyak band soft rock di Inggris seperti Embrace, Keane, Starsailor ataupun Snow Patrol. Musik mereka juga yang telah turut andil dalam pembentukan salah satu band terbesar dan paling berpengaruh di dunia saat ini, yaitu Coldplay. Baru-baru ini dalam salah satu wawancaranya, Chris Martin mengakui bahwa Travislah yang ‘menciptakan’ Coldplay.

Sepuluh tahun merupakan perjalanan panjang yang sangat berarti namun juga melelahkan bagi Travis. Perjalanan berliku dalam mengarungi industri musik yang kejam dan intens. Maka dari itu, selepas promo dari album terakhir 12 Memories, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dari segala kegaduhan industri musik dengan kembali menjadi manusia normal dan menjalani hidup mereka sebebas-bebasnya dengan orang-orang yang dikasihi. Sampai pada waktunya, mereka siap untuk kembali dengan semangat baru yang jauh lebih segar dari sebelumnya.

Tiga setengah tahun telah berlalu semenjak album 12 Memories dirilis - sebuah album yang dipenuhi oleh hubungan yang gelap, dan sebuah album yang digambarkan oleh Fran Healy sebagai sesi terapi bagi Travis. Kini dengan segenap optimisme dan rasa positif yang dikumpulkan kembali satu demi satu sepanjang masa istirahat mereka, Travis kembali datang dengan sebuah album pencerahan. The Boy With No Name kemudian dipilih sebagai judul album, mengikuti tradisi judul-judul album Travis yang dibayangi oleh nuansa misterius seperti The Man Who dan Invisible Band. The Boy With No Name sendiri sebenarnya ditunjukkan Fran Healy untuk anaknya yang baru lahir yang sempat tidak mempunyai nama selama beberapa minggu setelah dilahirkan.

Album ini dipenuhi oleh lagu-lagu bittersweat pop yang lebih kuat dari apa yang pernah dilakukan Travis sebelumnya. Singel pertama “Closer’ menjadi bukti paling nyata bahwa Travis telah kembali dengan kekuatan penuh dan telah siap untuk kembali dicintai semua orang. Lagu ini menebarkan kehangatan aroma cinta yang terus mewangi setiap detiknya. Setiap detik yang dibangun dengan cermat melalui perpaduan dari melodi yang ramah di telinga, suara gitar e-bow yang menyayat, dan alunan suara melankolis dari Fran Healy.

Lagu lain yang masih menampilkan kekuatan melodi easy listening dengan irama ala Travis terdapat pada “Battleship”, yang menyuguhkan atmosfir menyenangkan yang bisa menjadi teman akrab disaat melakukan perjalanan jauh ke luar kota. Bahkan lagu “Sailing Away” yang dijadikan bonus track juga mempunyai melodi yang tidak kalah kuat untuk bisa bersaing menjadi salah satu singel selanjutnya dalam album ini.

Sementara itu, di lagu lain seperti “Selfish Jean” yang berirama upbeat, memperlihatkan sebuah sisi dari Travis yang jarang terungkap. Dengan menggabungkan sedikit pengaruh dari Iggy Pop dan juga Motown ke dalam musik mereka yang manis, membuat lagu ini terdengar menyegarkan. Di lagu “Big Chair”, Travis melanjutkan irama upbeat tadi namun dengan nuansa yang lebih gelap dengan intro lagu yang seakan-akan diambil dari salah satu track lagu Linkin Park.

Hasil gemblengan Brian Eno saat workshop sebelum sesi studio dimulai dan juga pengaruh produser Nigel Godrich saat sesi rekaman, paling terlihat dalam lagu “Colder”, sebuah lagu weather-related yang terbaik yang dihasilkan Travis semenjak “Why Does It Always Rain On Me” Lagu ini sarat akan sound yang berat, gelap dan megah yang mengiringi melodi lagu yang terdengar ringan dan melodius. Pada “Out of Space”, pengaruh kedua orang produser hebat tadi juga masih sedikit terasa. Lagu akustik yang sederhana ini dibalut dengan kegelapan dan suara-suara yang dramatis yang menjadikan lagu akustik ini menjadi sebuah himne yang begitu membius.

Album ini adalah sebuah comeback yang menyegarkan. Walaupun secara musikal album ini pada dasarnya masih menawarkan formula musik khas Travis yang selama ini kita ketahui, namun rasa bosan itu tidak kunjung datang saat mendengarkan album ini. Rasanya kita akan selalu rindu mendengar musik seperti ini. Musik soft rock yang manis dengan melodi ringan, serta dilengkapi dengan refren kuat yang akan terdengar fantastis jika dipasang pada salah satu scene yang emosional dalam serial Grey’s Anatomy.

Tuesday, April 17, 2007

Word of Mouth : Sebuah Perjalanan Magis Bersama Jaco Pastorius




Tulisan ini adalah penghormatan
saya kepada Jaco Pastorius dan karya
terbaiknya Word of Mouth.





Suatu hari di
pertengahan tahun 70an, seorang
pemuda yang sedang mengikuti audisi untuk grup
fusion Weather Report, mengenalkan dirinya. “My
name is John Francis Pastorius the Third, and I’m the greatest bass player in
the world”.
Saat itu tidak ada orang yang pernah mendengar namanya apalagi
kemampuannya dalam bermain bass, tetapi ia sungguh yakin akan bakatnya. Saat
Weather Report berkembang menjadi band fusion terdepan di tahun 70an, apa yang
dikatakannya mengenai dirinya sendiri, terbukti benar.





John Francis
Pastorius III atau yang dikenal sebagai Jaco Pastorius dengan cepatnya menarik
perhatian penikmat musik di kala itu, bahkan bagi orang-orang yang sama sekali
tidak pernah mengenal instrumen bass. Bass di tangan Jaco, tidak lagi menjadi
instrumen musik pengiring yang bersembunyi dibalik kemilaunya instrumen gitar
maupun drum. Bass tidak lagi menjadi instrumen pembentuk dasar suatu lagu
melainkan juga bisa tampil ke depan
dan menjadi pusat perhatian.





Kini 20 tahun
telah berlalu, selepas kematiannya yang tragis di tahun 1987, namun pengaruhnya
masih begitu kuat terasa khususnya bagi pemain bass di seluruh dunia hingga
saat ini. Jaco ’memaksa’ para pemain bass tersebut untuk mengkonsep ulang
hubungan mereka dengan instrumennya. Jaco dengan teknik dan kharismanya,
menjadikan bass sebagai primadona baik di atas panggung maupun dalam rekaman.





Sewaktu masih
bergabung dengan Weather Report di tahun 1976, Jaco membuat solo albumnya yang
pertama. Album ini dipenuhi oleh teknik bermain bass yang ekspresif dengan gaya
eklektik. Album tersebut semakin mengukuhkan predikatnya sebagai pemain bass
terbaik di dunia. Lalu di tahun 1981, album keduanya Word of Mouth dirilis.
Album inilah yang membuatnya dikenal tidak hanya sebagai pemain bass terbaik
di seluruh dunia namun juga sebagai arranger
yang brilian.





Album Word of Mouth ini lebih fokus kepada
kemampuan Jaco dalam menciptakan komposisi sekaligus menulis aransemen musik
untuk band dalam format besar atau big
band
. Dan tentunya, semua komposisi dalam album ini diperkaya dengan
permainan bass Jaco yang akrobatik namun disuguhkan dengan segenap kerendahan
hati. Sehingga album ini bisa dinikmati semua orang, dan bukan hanya
ditunjukkan untuk para pemain bass saja. Jadi kekhawatiran orang awam untuk
terus mendengar suara bass yang dominan sepanjang album, terbukti tidak benar.
Menu utama album ini tetap pada komposisi jazz yang absurd namun berkualitas
yang kebetulan dihasilkan dari seorang pemain bass yang tidak kalah absurd.





Album ini dibuka
dengan ”Crisis”, sebuah kegilaan abstrak sepanjang 5 menit 20 detik yang menampilkan
pattern bass Jaco yang terus
melonglong dengan kecepatan maksimal dan meliuk-liuk dinamis di bawah iringan
drum dan saxophone yang berlari liar. Setelah itu, Jaco membawa kita untuk
istirahat sejenak dengan komposisi baladanya ”3 View of Secret” yang sangat
indah
. Alunan harmonika yang
syahdu berjalan anggun diantara kemegahan yang dihasilkan dari perpaduan string
section, brass section dan juga choir yang menyatu dengan padatnya. Seperti
tidak ingin menyisakan sedikit pun ruang kosong di lagu tersebut.





Sementara itu
pada ”Liberty City” yang bernuansa swing, Jaco yang ’hanya’ bermodalkan Fender
Jazz Bass fretlessnya menjadikan instrumen upright bass - atau yang biasa
dikenal sebagai bass betot - sebagai
pecundang. Ketika semua bassist di dunia menghindari pemakaian bass elektrik
ketika bermain musik swing, Jaco dengan gagah berani mendobrak semua pakem yang
sudah ada yang mungkin membuat bassist-bassist legendaris seperti Charles
Mingus ataupun Charlie Hadden berkecil hati.





Album ini juga
menyuguhkan penghormatan Jaco kepada musisi-musisi di luar ranah Jazz yang
turut mempengaruhinya. Dimulai dengan sebuah komposisi klasik gubahan Johan
Sebastian Bach yang berjudul ”Chromatic Fantasy”, yang didaur ulang oleh Jaco
melalui permainan bassnya yang sangat rancak yang seakan membawa kita kepada
sebuah labirin yang berliku. Mungkin jika komposisi ini dimainkan pada
instrumen piano akan terdengar biasa-biasa saja. Namun jika sebuah komposisi
musik klasik dimainkan pada sebuah bass elektrik bersenar empat, itu baru luar
biasa. Tidak cukup sampai disitu, setelah kita dibawa dalam suatu labirin yang
berliku di menit pertama lagu ini, pada kelanjutannya kita akan terdampar pada
suatu negeri entah berantah di timur dunia. Menampilkan sapuan beragam intrumen
ketimuran, serta dengan guratan suara-suara perkusi yang tak beraturan, yang
kesemuanya membentuk atmosfir eksotis sekaligus unik selayaknya keliaran cipratan
cat dari kuas Jackson Pollock yang merangkai keindahan lukisan Abstrak
Ekspresionisnya.





Lalu penghormatan
kedua ditunjukkan untuk pasangan pencipta lagu terhebat sepanjang masa, John
Lennon dan Paul McCartney. ”Blackbird” lalu menjadi pilihan Jaco sebagai medium
untuk menumpahkan keeksentrikan musikalnya. Lagu ini menampilkan sebuah
percakapan menarik antara bass Jaco dengan harmonica yang dimainkan oleh Toots
Thielemans. Di penghujung lagu, sayup-sayup terdengar suara feedback dari distorsi yang bergemuruh,
yang pada detik selanjutnya akan mengantar kita kepada ”Word of Mouth”, sebuah
komposisi ciptaan Jaco yang terdengar seperti sebuah penghormatan kepada Jimi
Hendrix melalui suara distorsi bass yang kotor dan kasar.





Sampai pada
akhirnya, perjalanan roller coaster
ini berakhir dengan komposisi yang berjudul ”John and Mary”, yang memadukan
dentingan piano yang cantik, string section yang dramatis - seperti scoring
sebuah film, irama musik tepi pantai di Karibia, dan alunan paduan suara yang
membahana. Hasilnya adalah perjalanan musikal yang menyenangkan, dan sebuah
akhir bahagia untuk kita semua yang mendengarkan album ini.





Tidak berlebihan
jika menyebut Jaco sebagai seorang jenius. Dia tidak hanya mempunyai teknik
bermain bass yang unik dan di atas rata-rata, namun kemampuannya dalam membuat
komposisi musik terbukti cerdas, dan untuk sebagian kalangan, musiknya dianggap
sebagai garda depan. Ketika musisi saat ini sibuk mendekonstruksikan musik jazz
ke dalam berbagai rupa, Jaco telah lebih dulu melakukannya 30 tahun yang lalu.
Ketika para bassist di dunia memperlakukan bass elektriknya sesuai takdir –
sebagai instrumen ritem yang kurang populer, Jaco melawan semua takdir
tersebut, dengan mengeksplorasi intrumennya tanpa batas.





Sebagai seorang
yang juga bermain bass sekaligus pecinta musik jazz, saya sungguh beruntung
telah mengenal musik Jaco Pastorius. Jaco adalah mentor, teman, dan idola saya
yang tidak akan pernah saya temui secara langsung. Hanya melalui album-albumnya
saya bisa merasakan kedekatan dengannya. Sebuah kedekatan emosional yang
dihasilkan dari sebuah perjalanan musikal yang magis, seperti saat saya
mendengarkan kembali album Word of Mouth
ini. Ketika telinga ini telah lelah sehabis dibombardir oleh musik-musik
populer ala MTV, album ini menjadi sebuah oase yang melegakan. Menemani saya
pada detik-detik disaat saya kembali menyadari bahwa musik bagus akan selalu
terdengar bagus sampai kapanpun.




Tuesday, April 10, 2007

Paris Je T'aime

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Other
“There are times when life calls out for a change. A transition. Like the seasons. Our spring was wonderful, but summer is over now and we missed out on autumn. And now all of a sudden, it's cold, so cold that everything is freezing over. Our love fell asleep, and the snow took it by surprise. But if you fall asleep in the snow, you don't feel death coming. Take care.”

Begitulah kalimat yang diucapkan seorang gadis Amerika yang diperankan oleh Natalie Portman di ujung telepon kepada kekasihnya, seorang pemuda Perancis yang buta. Seketika pemuda buta itu tampak sedih begitu mendengar kalimat tersebut. Ia lalu merefleksikan kembali hubungan percintaannya dengan membawa kita sebagai penonton untuk melihat kembali ke masa lampau. Masa-masa disaat bunga-bunga cinta bermekaran sampai kepada masa disaat kehangatan telah kehilangan gairahnya. Setelah itu cerita pun ditutup dengan sebuah kejutan.

Kisah tadi adalah satu dari 18 kisah yang ditampilkan dalam film kolektif Paris Je T’aime yang disutradari oleh 18 sutradara yang berbeda yang membawa setiap visi mereka terhadap kota Paris selayaknya surat cinta kepada kota yang dikenal sebagai kota paling romantis di dunia. Dengan durasi yang rata-rata tidak lebih dari lima menit, kedelapan belas sutradara tersebut menampilkan cinta dalam segala bentuknya, dari mulai yang aneh, romantis, tragis hingga yang penuh tawa.

Di menit-menit awal, kita disuguhkan akan kisah cinta yang menyinggung batasan rasial, dimana seorang pemuda Perancis jatuh hati dengan seorang wanita muslim berjilbab dari Timur Tengah yang pada akhirnya akan mengundang senyum bahagia untuk kita yang menonton. Kisah lain yang juga mengundang senyuman adalah kisah dimana dua orang badut berlainan jenis yang biasa melakukan atraksinya di sekitar menara Eiffel, mengalami apa yang dinamakan jatuh cinta. Kisah ini menurut saya adalah salah satu highlight dari film ini. Kisah cinta yang terjadi antara keduanya ditampilkan dalam sudut pandang yang tidak biasa. Tidak perlu ada kata-kata diantara keduanya, hanya melalui gerakan-gerakan pantomim, cinta itu bisa tumbuh. Begitu manis dan mengharukan.

Terkadang, kisah-kisah yang mengharu biru tersebut dibalut dengan ironi yang menyakitkan. Seperti kisah seorang ibu yang harus rela menitipkan bayinya ke tempat penitipan bayi karena ia harus bekerja sebagai pengasuh bayi di suatu rumah. Sementara itu, ada seorang suami yang sedang berpikir keras untuk menceraikan istrinya demi wanita simpanannya, tanpa mengetahui bahwa istrinya saat itu sedang mengalami sakit parah yang bisa berujung kepada kematian.

Dalam kesempatan lain, kisah-kisah dalam film ini menawarkan suatu kejutan yang tidak akan kita duga sebelumnya. Seperti pada kisah yang ditulis dan disutradari oleh salah satu sutradara favorit saya, Alfonso Cuaron. Kita diperlihatkan pada sebuah percakapan seorang pria dan wanita mengenai masa depan mereka dan ketakutan wanita tersebut kepada sosok pria lain. Sebuah percakapan intens, penuh emosi dan diakhiri dengan sebuah kejutan yang membahagiakan, all done in one single camera motion. Sangat cerdas menurut saya.

Sutradara Gus Vant Sant juga menampilkan kejutan yang kurang lebih sama, memperlihatkan sebuah percakapan antara kedua orang pria. Yang satu tampak mempunyai ketertarikan fisik yang kuat kepada pria yang diajaknya berbicara. Namun pria satunya menunjukkan sikap yang dingin. Sampai pada akhir cerita kejutan itu terjadi.

Film ini ditutup dengan indah melalui kisah seorang turis Amerika yang mengunjungi Paris seorang diri, dimana semuanya bermula dengan sentimen yang pedas dan berakhir dengan simpati. Ketika ia merasakan sebuah kenyamanan dan kebahagiaan di tengah kesendirian di tengah kota Paris, ia telah merasakan dirinya lebih ‘hidup’.

Satu demi satu kisah bergulir, membentuk sebuah simfoni kehidupan yang satu persatu semuanya bermuara akan cinta yang diagungkan dalam film ini. Sementara semua tokoh dalam film ini bergelut dengan segala cinta yang mereka miliki, Paris sebagai latar sentral menjadi sebuah rumah yang menyejukkan bagi mereka. Bagi kita sebagai penonton, terutama bagi yang sudah pernah mengunjungi Paris, film ini akan membangkitkan suatu kerinduan tersendiri pada kota kecintaan hampir semua penduduk di dunia ini. Bagi yang belum pernah ke Paris, seperti saya, film ini akan menimbulkan gairah yang lebih kuat untuk berkunjung ke kota ini, paling tidak satu kali dalam hidup.

Not Too late

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Pop
Artist:Norah Jones
Terkadang saya membandingkan sosok Norah Jones dengan Siti Nurhaliza. Mereka berdua sama-sama memiliki citra sebagai perempuan baik-baik yang santun, ramah dan lemah lembut yang akan menjadikan mereka berdua sebagai calon ibu rumah tangga kesayangan mertua dan tentunya para suami. Bedanya Norah Jones mempunyai talenta musik yang jauh lebih besar daripada Siti Nurhaliza. Norah Jones adalah seorang penyanyi, multi instrumentalis dan juga sekaligus sebagai seorang penulis lagu.

Sejak pemunculan pertama Norah Jones di tahun 2002, melalui debut albumnya Come Away With Me, kita semua dibuat jatuh cinta kepadanya. Norah Jones sangat berhasil menerjemahkan citra dirinya yang baik itu melalui musiknya yang terdengar anggun dan menenangkan. Membuat kita yang mendengarnya merasa nyaman dan tentram. Seperti seolah-olah melihat dunia yang riuh ini berjalan sangat harmonis dan damai.

Begitu juga dalam album ketiganya Not Too Late, kelembutan Norah Jones masih bisa kita temui, walaupun dalam album ini ia memandang dunia tidak lagi seindah yang dulu. Kali ini kita bisa merasakan adanya kesedihan, kemarahan dan keresahan yang tetap terbungkus rapi oleh kelembutan dirinya yang selama ini kita cintai. Dalam “My Dear Country”, Norah Jones dengan sangat halus memperlihatkan sikap politiknya. Memang tidak setajam Dixie Chicks dalam “Not Ready to Make Nice”, namun dengan lirik seperti ini : "I cherish you my dear country/I love all the things that you've given me/And most of all that I am free/To have a song that I can sing/On election day." , ia bisa menghadirkan suatu sudut pandang yang menarik dalam membuat lagu yang berbau politis, tentunya dengan ciri khasnya selama ini.

Pada “Wish I Could”, Norah Jones memperlihatkan kebenciannya kepada perang Irak, namun lagi-lagi tetap dalam bentuk yang paling halus. Ia mengangkat efek perang terhadap para istri tentara yang mati. "She says love in the time of war's not fair/He was my man but they didn't care/I don't tell her that I once loved you too", sementara itu dalam “Broken”, ia bercerita mengenai duka para tentara di medan perang. "He's got blood on his shoes and mud on his brim/Did he do it to himself or was it done to him?"

Jika dalam album Come Away With Me sarat akan nafas pop/jazz, dan di Feels Like Home penuh akan eksplorasinya dalam menggali musik-musik akar Amerika, album ketiganya ini terdengar seperti penggabungan dari kedua albumnya terdahulu. Hal itulah yang membuat musik dalam album ini menjadi lebih berwarna dan eklektik. Pada singel pertama “Thinking About You”, Norah menyajikan sedikit atmosfir jazz dengan suara Wurlitzer organ yang dimainkannya yang dipadukan oleh brass section yang bermain dalam semangat blues dan soul. Pada singel kedua “Sinkin Soon”, ia mengadaptasi gaya Dixieland rag dimana suara banjo dan mandolin bersahut-sahutan dengan muted trombone yang terdengar nakal. Di lagu lain seperti “The Sun Doesn't Like You”, Norah menampilkan kemuraman yang kurang lebih sama dengan apa yang biasa dilakukan oleh Nick Drake.

Walau bagaimanapun, Norah Jones tetap bisa merangkai keragaman tersebut sedemikian indah dengan signature sound yang ia miliki. Menghasilkan suatu musik dengan nuansa akustik kental yang terdengar hangat dan intim dan akan selalu mudah untuk didengar di berbagai kesempatan. Musiknya bisa menjadi teman minum kopi di salah satu sudut ruangan di Starbucks, atau untuk meredakan kepenatan di dalam mobil saat mengalami kemacetan di Jakarta, atau juga bisa menjadi musik latar yang akan diputar di kamar tidur sebelum bercinta dengan pasangan.

Sekarang kita tinggal berharap bahwa suatu saat nanti, Norah Jones tidak akan pernah berpikir untuk merubah citra dirinya - yang santun dan lemah lembut - menjadi seorang gadis seksi yang lincah dengan menggandeng produser seperti Timbaland dan teman-teman sejawatnya yang telah sukses membuat Jewel dan Nelly Furtado menjadi kuda liar. Saya tidak sanggup membayangkan Norah Jones menjadi seperti itu. Jika Norah Jones berdandanan serba terbuka dengan musiknya didominasi oleh bebunyian synthesizer serta menampilkan guest rapper, apa kata dunia?!