Thursday, August 30, 2007

Selamat jalan, Jumbo

Sampai sekarang rasanya masih seperti sebuah mimpi buruk. Teman satu kos saya telah berpulang pada hari sabtu kemarin, karena sakit. Namanya Andreas, tapi ia biasa dipanggil Jumbo. Badan dia memang tinggi besar, jadi tidak heran mengapa nama panggilan itu bisa lekat di dirinya.

Hari selasa malam, saya diberi tahu bahwa Jumbo koma. Ia tidak sadarkan diri dari sore di rumahnya di Jakarta. Setelah sebelumnya ia muntah-muntah karena tensi darahnya yang sangat tinggi yang mengakibatkan juga pembuluh darah di kepalanya pecah. Memang menurut suster di rumah sakit yang saya ajak bicara, kemungkinan Jumbo untuk selamat sangat kecil. Karena secara medis, otaknya sudah tidak berfungsi karena terjadi penyumbatan darah secara besar-besaran di seluruh bagian di kepalanya. Dokter juga tidak bisa melakukan operasi. Karena kondisi fisiknya terlalu lemah untuk bisa dioperasi.

Sampai pada sabtu dini hari kemarin, kabar duka itu akhirnya datang. Saat saya menerima kabar tersebut, saya baru saja pulang ceksound dari Ancol untuk acara Urban Fest. Saat itu sekitar pukul 3 pagi. Badan saya yang sudah lemas karena aktifitas yang begitu padat sedari pagi, menjadi semakin lemas. Ia meninggal di umur yang masih sangat muda, 22 tahun. Dan sampai pada kepergiannya, ia tidak sedetikpun terbangun dari komanya.

Sampai saat ini rasa kehilangan memang belum begitu saya rasakan, karena saya merasa Jumbo seperti masih liburan di Jakarta. Dan bukan pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Memang dari awal Agustus, ia sudah balik ke Jakarta karena kampusnya sedang libur. Mungkin perasaan kehilangan akan lebih saya rasakan dalam beberapa bulan ke depan. Namun jika dipikir kembali, mungkin maksud kepergian Jumbo terlebih dahulu ke Jakarta dalam waktu yang lama, seperti menyiapkan kita semua agar tidak terlalu kaget dan merasakan kehilangan yang besar saat ia benar-benar pergi untuk selamanya.

Sebenarnya saya mengenal Jumbo baru sekitar tiga bulan. Namun pertemanan singkat ini terasa seakan-akan sudah bertahun-tahun. Dalam tiga bulan saya sudah sangat mengenal karakter Jumbo sesungguhnya. Mungkin ini dikarenakan karena kita satu kos, dan hampir bertemu setiap hari.

Jujur saja, saat pertama kali bertemu dengannya, kesan pertama yang saya dapat adalah ia seorang yang angkuh dan tidak ramah. Mungkin ini disebabkan karena gaya bicaranya yang singkat, padat namun suka ‘nyelekit’ atau mungkin disebabkan oleh wajahnya yang mahal senyum. Namun semua anggapan tersebut berangsur-angsur berubah seiring saya semakin dekat dengannya.

Ternyata di balik ‘kesangaran’ dirinya, ia adalah seorang pemurah hati, senang menolong, jujur, dan apa adanya. Ini bukanlah sikap-sikap standar yang biasa kita pelajari di pelajaran PMP waktu SD dulu. Sikap-sikap tersebut sungguh saya rasakan saat saya mengenal Jumbo. Ia memang orang baik. Dan seperti ungkapan lama, orang baik cepat dipanggil Tuhan.

Ia tidak pernah menolak jika diminta untuk mengantarkan teman-teman satu kosnya - terutama yang perempuan - kemana saja. Ciumbuleuit kalau malam sudah tidak ada angkot. Jadi untuk pergi makan ke tempat yang lebih jauh atau hanya sekedar mengambil uang di ATM memang harus menggunakan motor jika tidak ingin capek karena harus berjalan kaki. Dan Jumbo orang yang selalu siap untuk mengantar kemana saja dan pada jam berapa saja. Ia sebenarnya tidak mempunyai motor, namun entah mengapa anak-anak kos selalu meminta Jumbo untuk mengantar. Termasuk saya. Hehe..

Saya beberapa kali juga meminta bantuannya untuk mengantar. Pada satu waktu saya pernah hampir ditinggal oleh travel yang sudah saya pesan. Karena waktunya mepet, dan takut jalanan macet maka saya meminta bantuannya untuk mengantarkan saya dengan motor. Sebenernya ia yang lebih dulu menawarkan bantuannya, sesaat setelah melihat saya tergopoh-gopoh berlari menuju keluar kosan. Tidak pikir panjang, saya lalu menyambut tawarannya tersebut.

Itu yang menjadi salah satu kelebihan Jumbo, ia tidak bisa melihat temannya sedang kesusahan. Kalau memang keadaannya memungkinkan untuk ia bantu, pasti bantuan tersebut akan datang dengan cepatnya.
                                                      
                                                                          ***
Terlalu banyak kenangan yang ada bersama Jumbo walaupun saya mengenalnya dalam waktu yang cukup singkat. Yang pasti saya masih ingat dengan jelas, pertemuan terakhir saya dengannya. Malam itu Ballads of the Cliche manggung di Blitz Megaplex, Bandung. Tak disangka-sangka ia datang menonton saya. Ini adalah kali pertama Jumbo menonton saya manggung. Dan ternyata itu juga yang terakhir.

Malam itu hari kerja, jadi tidak memungkinkan bagi Ballads of the Cliche tampil full team. Karena personil lainnya bekerja di Jakarta. Jadi yang bermain malam itu hanya saya, Bobby dan Nina. Dan kami bermain akustik. Setelah manggung, ia memuji saya, dan berkata “Suara elo bagus juga, Dim. Kenapa gak pernah nyanyi di kosan?” “Malu, ah.” Jawab saya sambil tersenyum. Setelah itu, saya, Jumbo, pacar saya dan dua teman kos saya yang lainnya makan malam bersama di Kentucky Fried Chicken.

Saat menuju ke KFC, Jumbo menawarkan bantuannya untuk membawa hardcase gitar saya. Saya yang memang canggung dan malas untuk membawa hardcase gitar yang berukuran besar di dalam mal, menerima dengan penuh suka cita bantuan tersebut. Saat itu saya hanya bisa bertanya basa-basi “Yakin, Mbo mau bawa gitar gue? Repot lho hardcasenya besar..” Lalu Jumbo menjawab “Gak, pa-pa, Dim. Biar keliatan kayak Rockstar.” Lalu kami tertawa bersama.

Jarak antar Blitx Megaplex dan KFC cukup jauh, walaupun masih dalam satu mal. Maka jadilah saya berjalan dengan bebasnya. Dan Jumbo berada di samping saya sambil membawa hardcase gitar saya yang besar itu. Lalu teman saya Yunan tiba-tiba nyeletuk “Wah kalo gini pemandangannya, Jumbo bukan kayak Rockstar, tapi jadi kayak krunya Dimas. Apalagi kalo pake jacket elo ini, Mbo.” Memang malam itu, Jumbo memakai jacket kebesarannya. Jacket yang senantiasa mendampingi malam-malamnya yang dingin. Mungkin ia jarang mencuci jacket tersebut, hingga terlihat cukup lusuh.

Malam itu kami habiskan dengan ceria, dan penuh tawa. Siapa yang menyangka malam itu adalah malam terakhir saya bertemu dengannya. Besoknya ia balik ke Jakarta untuk liburan. Dan sewaktu ia meninggalkan kos untuk pergi ke Jakarta, saya tidak sempat bertemu lagi dengannya.

Saya akan rindu berbincang-bincang dengannya terutama jika berbincang mengenai musik. Jumbo mengidolakan Ahmad Dhani. Dan saya suka meledeknya dengan menghina Ahmad Dhani. Setelah membaca salah satu edisi Rolling Stone yang memuat wawancara dengan Ahmad Dhani, saya langsung berkata kepadanya dengan nada setengah bercanda dan setengah mengejek. “Tuh kan Ahmad Dhani itu emang plagiator. Dia aja ngakuin kalo kover Dewi-Dewi ngejiplak kover The Donnas” Dia lalu membalas perkataan saya “Itu dia yang gue suka dari Ahmad Dhani. Dia itu jujur, kalo emang jiplak yah ngaku. Dan omongannya selalu apa adanya, gak dibuat-buat”

Mungkin Jumbo tidak menyadari bahwa karakternya sedikit mirip dengan Ahmad Dhani. Walaupun untungnya Jumbo tidak pernah menyombongkan dirinya seperti yang biasa Ahmad Dhani lakukan. Yang membuat ia sama dengan Ahmad Dhani adalah Jumbo selalu berbicara dari apa yang dipikirkannya saat itu. Tidak ada filter yang menyaring, tidak ada basa-basi. Terkadang omongannya bisa membuat orang lain tersinggung, namun sesungguhnya ia tidak bermaksud menyinggung. Ia hanya berkata jujur.

                                                                                 ***
Saya teringat pada sebuah kejadian di Pangandaran, saat saya bersama teman-teman satu kos berlibur bersama pada awal bulan Juli kemarin. Saat itu malam terakhir sebelum kami semua balik ke Bandung. Salah seorang dari kami mengusulkan agar kami semua berkumpul bersama di pinggir pantai, membuat api unggun dan berbincang-bincang sambil menghabiskan beberapa botol bir. Jarak antara penginapan dan pantai memang cukup jauh. Dan harus menggunakan kendaraan.

Jumbo yang telah lelah malam itu, tidak ingin ikut. Ia ingin tidur saja di penginapan. Salah satu teman saya ada yang tidak bisa menerima keputusan Jumbo. Ia mempersoalkan mengapa Jumbo sepertinya tidak mempunyai rasa kebersamaan. Saat itu terjadi perdebatan yang cukup sengit antara Jumbo dan teman saya tersebut. Jumbo tetap pada pendiriannya, bahwa ia tidak mau ikut karena capek. Jumbo mempertanyakan, mengapa selalu saat melakukan segala sesuatu di liburan ini harus bersama-sama. Menurutnya kalau salah satu ada yang tidak mau ikut berkegiatan yah harusnya dibiarkan saja. Jangan sampai ikut berkegiatan karena merasa terpaksa.

Itulah Jumbo. Ia selalu kritis terhadap segala hal. Dan ia tidak takut untuk mengeluarkan pendapatnya, walaupun pendapatnya tersebut berbeda dari orang lain. Saya selalu menghormati pendapat Jumbo. Karena menurut saya pendapatnya selalu datang dari apa yang dirasakannya. Tanpa ada maksud untuk menyenangkan hati orang lain atau tanpa ada maksud agar pendapatnya diterima oleh orang lain.

Saya juga jadi ingat komentarnya, saat saya mendengarkan dua buah lagu Ballads of the Cliche yang terbaru kepadanya. Dua lagu tersebut adalah calon singel pertama dari album terbaru kami. Dan saya beserta teman-teman di Ballads memang masih bingung untuk menentukan lagu mana yang akan dijadikan singel pertama. Maka dari itu saya selalu meminta pendapat orang lain di luar Ballads sebagai second opinion yang bisa menjadi bahan pertimbangan juga. Salah satunya saya meminta pendapat Jumbo.

Ia tampak mendengarkan dengan seksama melalui earphone kedua lagu yang saya pasang di mp3 player. Setelah mendengarkan, ia lalu bertanya. “Lo ikut kompetisi yang LA Light Indiefest itu gak?” “Gak, emang kenapa?”, tanya saya kembali. “Kalo gue bilang lagu yang kedua ini cocok tuh untuk festival indie kayak gitu. Gak tau kenapa kesan yang gue dapet pas gue dengerin lagu ini, seperti lagu-lagu band indie kebanyakan aja. Gue sih gak dengerin banyak band-band indie, jadi gak tau pasti. Tapi lagu ini imagenya indie aja.”, katanya dengan ekspresi serius. Saya dalam hati bertanya-tanya apakah yang dimaksud dengan image indie itu sesuatu yang buruk atau tidak. Tidak berapa lama ia berkomentar lagi. “Kalo lagu yang pertama itu lumayan. Unik sih. Gue milih yang ini deh untuk singel pertama.”

Dan pada akhirnya pilihan Jumbo memang sejalan dengan pilihan saya dan teman-teman di Ballads of the Cliche. Ia juga membeli cd singelnya setelah dirilis, walaupun cd singel tersebut sepertinya tidak pernah ia dengarkan. Sebenarnya ia bukan pendengar musik-musik seperti yang Ballads of the Cliche mainkan. Ia lebih suka lagu Dewa (tentunya), atau juga ia sangat menyukai Keris Patih. Bahkan sebelum ia meninggal, ia sempat mengajak salah satu teman kos saya untuk pergi bersama menonton Keris Patih yang akan tampil di Ciwalk, Bandung pada awal September nanti.

Suatu malam, saya pernah bertanya kepadanya, mengapa ia bisa suka dengan Keris Patih. Karena menurut saya Keris Patih tidak ubahnya seperti band-band pop cengeng Indonesia lainnya. Ia lalu menjawab pertanyaan saya dengan diplomatis. “Keris Patih itu beda. Elo perhatiin deh kord-kordnya. Gak biasa. Saya lalu membalas jawabannya “ Kayaknya itu karena yang nulis lagunya kebanyakan Badai, si keyboardisnya kali ya? Biasa kalo keyboardis lebih mudah untuk menggapai kord-kord aneh.” Akhirnya malam itu, berawal dari pertanyaan saya mengenai Keris Patih maka terjadilah sebuah diskusi musik yang cukup mengasyikkan.

Tidak terasa, saya sudah menghabiskan lembar keempat untuk tulisan ini. Sebenarnya masih banyak yang bisa saya tulis mengenai dirinya. Tapi sekarang saya menjadi ragu, apakah saya sanggup atau tidak untuk terus bercerita mengenai dirinya. Saya sudah mulai merasa ada sesuatu yang menggenang di ujung mata saya. Yah lebih baik saya tuntaskan saja tulisan ini.

Selamat jalan teman. Semoga engkau berbahagia di atas sana. Sampaikan salamku untuk John Lennon, Nick Drake, Elliot Smith dan Jaco Pastorius jika kebetulan engkau bertemu dengan mereka. Kami semua di Bukit Sari tidak akan melupakanmu. Doa kami menyertaimu, Jumbo.

*Foto di atas adalah foto Jumbo dengan salah satu teman kos saya yang bernama Maya. Foto diambil sewaktu kami semua berlibur ke batu karas dan pengandaran awal bulan juli kemarin.

8 comments:

  1. walopun gue nggak kenal jumbo, tapi gue sangat sedih bacanya, mas.. =( gue juga nonton BOTC di blitsz itu seperti jumbo.. dasar misteri hidup.. gue ngga nyangka salah satu penonton yang sama2 nonton seperti saya saat itu telah berpulang di usia yg sangat muda... i m so sorry mas..

    ReplyDelete
  2. turut berduka ya dimas..
    anak unpar juga ya?

    ReplyDelete
  3. Anjrit, tulisan lo benar-benar menghanyutkan, Dim. Jadi ikut sedih gue.

    ReplyDelete
  4. Semoga almarhum mendapatkan tempat yang layak di-sisiNya.
    Amin..

    ReplyDelete
  5. lha elo juga nonton? kok kita tidak bertemu ya?

    ReplyDelete
  6. bukan, dia anak sekolah tinggi musik bandung.

    ReplyDelete
  7. ur such a good friend...pasti dia seneng punya temen kayak dimas.. =)
    he's happy now .. he's in the right place..

    ReplyDelete
  8. turut berduka cita.

    dia sakit apa sih ?

    ReplyDelete