Tuesday, April 17, 2007

Word of Mouth : Sebuah Perjalanan Magis Bersama Jaco Pastorius




Tulisan ini adalah penghormatan
saya kepada Jaco Pastorius dan karya
terbaiknya Word of Mouth.





Suatu hari di
pertengahan tahun 70an, seorang
pemuda yang sedang mengikuti audisi untuk grup
fusion Weather Report, mengenalkan dirinya. “My
name is John Francis Pastorius the Third, and I’m the greatest bass player in
the world”.
Saat itu tidak ada orang yang pernah mendengar namanya apalagi
kemampuannya dalam bermain bass, tetapi ia sungguh yakin akan bakatnya. Saat
Weather Report berkembang menjadi band fusion terdepan di tahun 70an, apa yang
dikatakannya mengenai dirinya sendiri, terbukti benar.





John Francis
Pastorius III atau yang dikenal sebagai Jaco Pastorius dengan cepatnya menarik
perhatian penikmat musik di kala itu, bahkan bagi orang-orang yang sama sekali
tidak pernah mengenal instrumen bass. Bass di tangan Jaco, tidak lagi menjadi
instrumen musik pengiring yang bersembunyi dibalik kemilaunya instrumen gitar
maupun drum. Bass tidak lagi menjadi instrumen pembentuk dasar suatu lagu
melainkan juga bisa tampil ke depan
dan menjadi pusat perhatian.





Kini 20 tahun
telah berlalu, selepas kematiannya yang tragis di tahun 1987, namun pengaruhnya
masih begitu kuat terasa khususnya bagi pemain bass di seluruh dunia hingga
saat ini. Jaco ’memaksa’ para pemain bass tersebut untuk mengkonsep ulang
hubungan mereka dengan instrumennya. Jaco dengan teknik dan kharismanya,
menjadikan bass sebagai primadona baik di atas panggung maupun dalam rekaman.





Sewaktu masih
bergabung dengan Weather Report di tahun 1976, Jaco membuat solo albumnya yang
pertama. Album ini dipenuhi oleh teknik bermain bass yang ekspresif dengan gaya
eklektik. Album tersebut semakin mengukuhkan predikatnya sebagai pemain bass
terbaik di dunia. Lalu di tahun 1981, album keduanya Word of Mouth dirilis.
Album inilah yang membuatnya dikenal tidak hanya sebagai pemain bass terbaik
di seluruh dunia namun juga sebagai arranger
yang brilian.





Album Word of Mouth ini lebih fokus kepada
kemampuan Jaco dalam menciptakan komposisi sekaligus menulis aransemen musik
untuk band dalam format besar atau big
band
. Dan tentunya, semua komposisi dalam album ini diperkaya dengan
permainan bass Jaco yang akrobatik namun disuguhkan dengan segenap kerendahan
hati. Sehingga album ini bisa dinikmati semua orang, dan bukan hanya
ditunjukkan untuk para pemain bass saja. Jadi kekhawatiran orang awam untuk
terus mendengar suara bass yang dominan sepanjang album, terbukti tidak benar.
Menu utama album ini tetap pada komposisi jazz yang absurd namun berkualitas
yang kebetulan dihasilkan dari seorang pemain bass yang tidak kalah absurd.





Album ini dibuka
dengan ”Crisis”, sebuah kegilaan abstrak sepanjang 5 menit 20 detik yang menampilkan
pattern bass Jaco yang terus
melonglong dengan kecepatan maksimal dan meliuk-liuk dinamis di bawah iringan
drum dan saxophone yang berlari liar. Setelah itu, Jaco membawa kita untuk
istirahat sejenak dengan komposisi baladanya ”3 View of Secret” yang sangat
indah
. Alunan harmonika yang
syahdu berjalan anggun diantara kemegahan yang dihasilkan dari perpaduan string
section, brass section dan juga choir yang menyatu dengan padatnya. Seperti
tidak ingin menyisakan sedikit pun ruang kosong di lagu tersebut.





Sementara itu
pada ”Liberty City” yang bernuansa swing, Jaco yang ’hanya’ bermodalkan Fender
Jazz Bass fretlessnya menjadikan instrumen upright bass - atau yang biasa
dikenal sebagai bass betot - sebagai
pecundang. Ketika semua bassist di dunia menghindari pemakaian bass elektrik
ketika bermain musik swing, Jaco dengan gagah berani mendobrak semua pakem yang
sudah ada yang mungkin membuat bassist-bassist legendaris seperti Charles
Mingus ataupun Charlie Hadden berkecil hati.





Album ini juga
menyuguhkan penghormatan Jaco kepada musisi-musisi di luar ranah Jazz yang
turut mempengaruhinya. Dimulai dengan sebuah komposisi klasik gubahan Johan
Sebastian Bach yang berjudul ”Chromatic Fantasy”, yang didaur ulang oleh Jaco
melalui permainan bassnya yang sangat rancak yang seakan membawa kita kepada
sebuah labirin yang berliku. Mungkin jika komposisi ini dimainkan pada
instrumen piano akan terdengar biasa-biasa saja. Namun jika sebuah komposisi
musik klasik dimainkan pada sebuah bass elektrik bersenar empat, itu baru luar
biasa. Tidak cukup sampai disitu, setelah kita dibawa dalam suatu labirin yang
berliku di menit pertama lagu ini, pada kelanjutannya kita akan terdampar pada
suatu negeri entah berantah di timur dunia. Menampilkan sapuan beragam intrumen
ketimuran, serta dengan guratan suara-suara perkusi yang tak beraturan, yang
kesemuanya membentuk atmosfir eksotis sekaligus unik selayaknya keliaran cipratan
cat dari kuas Jackson Pollock yang merangkai keindahan lukisan Abstrak
Ekspresionisnya.





Lalu penghormatan
kedua ditunjukkan untuk pasangan pencipta lagu terhebat sepanjang masa, John
Lennon dan Paul McCartney. ”Blackbird” lalu menjadi pilihan Jaco sebagai medium
untuk menumpahkan keeksentrikan musikalnya. Lagu ini menampilkan sebuah
percakapan menarik antara bass Jaco dengan harmonica yang dimainkan oleh Toots
Thielemans. Di penghujung lagu, sayup-sayup terdengar suara feedback dari distorsi yang bergemuruh,
yang pada detik selanjutnya akan mengantar kita kepada ”Word of Mouth”, sebuah
komposisi ciptaan Jaco yang terdengar seperti sebuah penghormatan kepada Jimi
Hendrix melalui suara distorsi bass yang kotor dan kasar.





Sampai pada
akhirnya, perjalanan roller coaster
ini berakhir dengan komposisi yang berjudul ”John and Mary”, yang memadukan
dentingan piano yang cantik, string section yang dramatis - seperti scoring
sebuah film, irama musik tepi pantai di Karibia, dan alunan paduan suara yang
membahana. Hasilnya adalah perjalanan musikal yang menyenangkan, dan sebuah
akhir bahagia untuk kita semua yang mendengarkan album ini.





Tidak berlebihan
jika menyebut Jaco sebagai seorang jenius. Dia tidak hanya mempunyai teknik
bermain bass yang unik dan di atas rata-rata, namun kemampuannya dalam membuat
komposisi musik terbukti cerdas, dan untuk sebagian kalangan, musiknya dianggap
sebagai garda depan. Ketika musisi saat ini sibuk mendekonstruksikan musik jazz
ke dalam berbagai rupa, Jaco telah lebih dulu melakukannya 30 tahun yang lalu.
Ketika para bassist di dunia memperlakukan bass elektriknya sesuai takdir –
sebagai instrumen ritem yang kurang populer, Jaco melawan semua takdir
tersebut, dengan mengeksplorasi intrumennya tanpa batas.





Sebagai seorang
yang juga bermain bass sekaligus pecinta musik jazz, saya sungguh beruntung
telah mengenal musik Jaco Pastorius. Jaco adalah mentor, teman, dan idola saya
yang tidak akan pernah saya temui secara langsung. Hanya melalui album-albumnya
saya bisa merasakan kedekatan dengannya. Sebuah kedekatan emosional yang
dihasilkan dari sebuah perjalanan musikal yang magis, seperti saat saya
mendengarkan kembali album Word of Mouth
ini. Ketika telinga ini telah lelah sehabis dibombardir oleh musik-musik
populer ala MTV, album ini menjadi sebuah oase yang melegakan. Menemani saya
pada detik-detik disaat saya kembali menyadari bahwa musik bagus akan selalu
terdengar bagus sampai kapanpun.




6 comments:

  1. betul skali bung dimas..., eh ngomong2 gw ada beberapa lagunya jaco, tp g ada judul dan albumnya (btapa menyedihkannya..) trus ada 1 lagu , cm inget dy itu "track 5", bass doang, lagunya pelan, smooth, mainin harmonic. itu judulnya apa ya???? mungkin lu tau..

    ReplyDelete
  2. oh itu pasti judulnya potrait of tracy..kl lagu itu ada di albumnya yang pertama..

    ReplyDelete
  3. ooo..makanya lo pake Fender Jazzbass mengikuti idola lo ini yah...hihihi

    ReplyDelete
  4. yah kurang lebih gitu, walaupun fendernya skg br mampunya versi anaknya fender..hehe...

    ReplyDelete
  5. oohh oke2 trimakasi lo.. love that song

    ReplyDelete
  6. kembali kasih..gw juga suka banget lagu itu, susah banget tapi maeninnya.huhu..

    ReplyDelete