Rating: | ★★★ |
Category: | Movies |
Genre: | Drama |
“Gue nggak pernah lho, mas terobsesi sama film Indonesia sampai kayak gini,” kata salah seorang teman yang kemarin ikut menonton film Ayat-Ayat Cinta (AAC) bersama saya. Ia bisa jadi terobsesi karena sudah beberapa hari kemarin, teman saya itu selalu kehabisan kursi bioskop saat mau menonton film yang diangkat dari novel laris berjudul sama karangan Habiburrahman El Shirasy ini. Obsesi teman saya itu semakin menjadi-jadi karena testimonial setiap orang yang dikenalnya yang sudah menonton AAC selalu positif.
Saya juga sempat kehabisan kursi saat mau menonton AAC di Cihampelas Walk pada hari Jumat malam kemarin. Bayangkan AAC diputar di tiga studio, dan saya masih kehabisan tiket. Saya pun semakin penasaran terhadap film ini. Apakah film ini benar-benar sebagus seperti banyak orang bilang?
Saya memang tidak membaca novelnya. Tapi biarlah. Biar saya bisa menikmati film ini secara utuh, tanpa harus membanding-bandingkan isi novel dengan film yang pasti akan selalu berbeda.
Film AAC sebenarnya adalah kisah cinta pada umumnya, tapi mungkin yang membuatnya spesial karena ada pesan-pesan keagamaan yang begitu kuat di dalamnya. Hal ini yang membuat AAC tidak hanya ditonton oleh kaum remaja saja, tapi juga oleh ibu-ibu pengajian dan keluarga-keluarga muslimah.
Rasanya saya tidak perlu menceritakan lagi resensi film ini karena mungkin sebagian besar dari Anda sudah membaca novelnya atau mungkin sudah menonton filmnya. Yang pasti tokoh Fahri yang diperankan oleh Fedi Nuril terlihat tanpa cela dalam film ini. Tidak ada sedikit pun kekurangan dari dirinya. Semua sifatnya bener-benar menjadikan Fahri sebagai menantu idaman para ibu rumah tangga. Saya tidak tahu apakah penggambaran tokoh ini persis sama seperti yang diceritakan di novelnya atau tidak.
Fahri adalah mahasiswa asal Indonesia yang sedang S2 di universitas Al Azhar, Mesir. Ia berwajah rupawan, cerdas (dengan kemampuan tiga bahasanya : Inggris, Arab, Jerman), baik hati, tidak sombong, rajin sholat, dan digilai oleh para wanita (tercatat ada 4 wanita yang menyukai dirinya) Sayangnya ia tidak jago berkelahi (ada ada adegan yang memperlihatkan ia dipukuli tanpa sedikit pun membalas) dan juga ia tidak mempunyai materi yang berlebih (komputer butut, suasana rumah keluarganya yang sederhana) karena jika semua kesempurnaan dirinya ditambah oleh kemampuannya berkelahi serta dengan materi yang berlebih maka lengkaplah sudah penggambaran Mas Boy versi millenium dalam film ini.
Satu hal yang membuat diri tokoh Fahri lebih unggul dari tokoh Boy dari film Catatan si Boy adalah keberuntungannya dalam memperistri dua wanita cantik sekaligus, yakni Aisha dan Maria. Sementara tokoh Boy harus memilih salah satu antara Nuke dan Vera (masih ingat pemeran kedua tokoh ini? Ayu Azhari dan Meriam Belina) Fahri sebenarnya tidak mempunyai sifat playboy seperti yang dimiliki oleh tokoh Boy, namun karena keluguan serta kesederhanaannya itulah yang membuat para gadis di sekitarnya jatuh hati.
Diantara kedua tokoh wanita utama dari film AAC, yakni Aisha dan Maria, hanya tokoh Maria saja yang saya rasa paling dapat penggambaran emosinya. Saya dan mungkin sebagian besar penonton merasa lebih berempati terhadap penderitaan Maria dibandingkan dengan Aisha.
Maria yang diperankan dengan baik oleh Carissa Putri adalah seorang gadis Mesir beragama Kristen Koptik (saya baru tahu ada jenis agama ini) yang tertarik dengan Al Quran, tinggal satu flat dengan Fahri serta menjadi teman belajar Fahri yang menyenangkan. Sudah bisa tertebak, akhirnya Maria mempunyai perasaan khusus terhadap Fahri, walaupun perasaan Fahri sampai akhir film belum terungkap dengan jelas, apakah ia juga mempunyai perasaan yang sama terhadap Maria atau tidak.
Sedangkan tokoh Aisha seorang gadis Jerman keturunan Palestina yang tinggal di Mesir yang diperankan oleh Rianty Cartwright terkesan datar-datar saja. Mungkin ini disebabkan oleh mimik wajah Rianty yang selalu sama ketika ia marah, sedih atau senang.
Masalah pemakaian bahasa dalam film ini juga membingungkan saya. Seringkali saya sulit membedakan yang mana tokoh yang memang orang Indonesia dan mana tokoh yang non Indonesia karena hampir semua tokoh dalam film ini berbahasa Indonesia dengan baik.
Tokoh Aisha hanya di awal-awal saja menggunakan bahasa Jerman, saat ia berkenalan dengan Fahri di tengah jalan. Begitu juga dengan Maria yang notabene seorang gadis Mesir namun memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang sangat baik. Belum lagi tokoh-tokoh lain di film ini yang rata-rata semua bisa berbahasa Indonesia. Ya sudahlah, pada akhirnya saya juga tidak mempedulikan lagi masalah pemakaian bahasa dalam film ini. Yang penting saya bisa mengikuti alur ceritanya.
Kesimpulan saya, film ini cukup bagus tipikal kisah cinta yang berujung tragedi, seperti film-film Indonesia tahun 70an. Tapi memang saya tidak bisa menilai film ini dengan sangat bagus. Entah mengapa. Yah mungkin ini selera saya saja.