Wednesday, October 11, 2006

Sebuah senja yang takkan terlupakan

Semarang, 16 Agustus 2006. Hari itu Ballads akan bermain di universitas katolik Sugiapranata. Semenjak tiba di Semarang, saya memang berencana untuk mengunjungi rumah eyang saya yang berada di kota Ungaran, sekitar 30 menit perjalanan dari kota Semarang. Saya juga sudah mengutarakan niat tersebut kepada Felix, manager saya. Tadinya saya ingin ke Ungaran di pagi hari, sebelum ceksound siang harinya. Tetapi ternyata sebelum ceksound, Ballads harus melakukan sesi wawancara di radio Prambors. Jadilah saya menunda niat saya tersebut. Ceksound baru selesai sore hari. Setelah ceksound kami semua balik ke hotel. Ballads sendiri dijadwalkan manggung pukul 9 malam.


Karena sore itu adalah satu-satunya kesempatan kami serombongan untuk jalan-jalan di Semarang, sebelum besok pagi berangkat ke Jogja, maka disusunlah rencana jalan-jalan itu. Di situ saya menjadi bimbang. Antara ingin jalan-jalan atau ke rumah eyang saya. Apalagi setelah mendapat cerita dari panitia bahwa pemandangan kota tua di Semarang sangatlah indah. Cocok untuk objek foto. Tetapi hati kecil saya tetap ingin berkunjung ke rumah eyang, walau hanya sebentar.


Maka berangkatlah saya ke Ungaran. Felix hanya berpesan agar saya tidak mepet balik ke hotel, agar sebelum panitia datang menjemput, saya masih bisa mandi dan beres-beres terlebih dahulu. Sebelum berangkat saya menelepon dulu kesana, memberitahu bahwa saya akan datang berkunjung. Waktu itu om saya yang mengangkat telepon. Dengan berbekal alamat dan nanya sana sini, sampailah saya ke rumah eyang.


Terakhir berkunjung ke Ungaran sekitar tahun 1998, saat eyang saya merayakan 50 tahun ulang tahun perkawinan. Karena itulah saya sedikit lupa lokasi persisnya. Saat tiba di pagar depan rumah, saya melihat eyang kakung saya sedang bersantai di teras depan. Di samping tempat duduknya ada sebuah alat bantu untuk berjalan. Sudah 5 tahun belakangan ini eyang kakung saya terkena pengapuran yang menyebabkan ia tidak bisa berjalan dengan sempurna. Walau keadaan kakinya memprihatinkan, tubuhnya masih terlihat segar untuk orang berusia 82 tahun.


Wajahnya langsung tersenyum sumringah saat melihat saya datang. Saya langsung menyalami dan mencium pipinya. Tidak berapa lama, eyang putri saya datang bergabung. Disusul juga om saya, yang merupakan adik terkecil ayah saya yang memang tinggal di rumah itu. Jadilah saya di saat itu bersama kedua eyang dan juga om saya, menghabiskan senja bersama di teras depan. Sebuah senja yang tidak akan saya lupakan.


Eyang kakung saya masih mengingat dengan jelas kapan terakhir saya datang ke rumah itu. Saya sendiri sampai malu karena jarang sekali berkunjung kesana. Seperti biasa, saat saya bertemu dengan sanak saudara selalu ada pertanyaan mengenai kabar terakhir dari kegiatan akademis saya. Eyang kakung saya juga bertanya hal yang sama. Dia menanyakan kapan saya menyelesaikan kuliah. Seperti biasa juga, saya selalu menjawab dengan senyum dan berkata ”Sebentar lagi kok, doain aja.”


Eyang kakung saya sepertinya sangat senang akan kedatangan cucu pertamanya ini. Dia langsung menyuruh eyang putri saya untuk menyiapkan makan malam. Lalu juga menyuruh om saya menyiapkan makanan-makanan kecil beserta teh hangat untuk saya. Tadinya saya juga disuruh menginap disana. Lalu saya menjelaskan bahwa saya ada jadwal manggung juga esok harinya di Jogja. Jadi pagi-pagi sekali saya harus meninggalkan kota Semarang. Eyang saya bisa memaklumi keadaan tersebut, walau tampak sedikit kekecewaan di wajahnya.


Kami mengobrol banyak hal di senja itu. Sampai akhirnya matahari semakin beranjak turun. Akhirnya pertemuan singkat tersebut ditutup dengan makan malam bersama. Berulangkali eyang kakung menyuruh saya agar cepat bergegas balik ke hotel, karena takut gara-gara saya terlalu lama di sana akhirnya saya jadi telat datang ke tempat pertunjukkan. Akhirnya yang panik jadi eyang saya. Saya sendiri masih tenang-tenang saja. Karena anak-anak yang lain juga belum menghubungi saya agar cepat balik ke hotel. Memang eyang kakung saya itu gampang sekali panik.


Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Memang sudah waktunya saya balik ke hotel. Saya pamit ke eyang putri, om dan saudara-saudara saya yang tinggal di rumah itu. Begitu juga saya pamit pulang ke eyang kakung saya. Sambil menyalami dan mencium pipinya, saya meminta doanya agar saya cepat lulus dengan lancar. Seraya membalas ciuman saya dia berkata “Iya eyang selalu mendoakan mas Rio.” Mas Rio adalah panggilan saya di lingkungan keluarga.


Lalu sampailah saya di hari ini. Tidak pernah saya bayangkan bahwa senja itu adalah pertemuan terakhir saya dengan eyang kakung. Kemarin pagi dia meninggal dunia dengan damai. Kata ayah saya, eyang meninggal seperti orang tidur. Saya sangat terkejut saat mendapat kabarnya. Sebelumnya saya tidak mendengar kabar eyang kakung saya sakit keras. Sayang sekali saya baru mendapat kabar duka itu setelah siang hari. Saya tidak menyadari hp saya mati dari pagi karena low batt. Karena itu saya tidak sempat datang ke Ungaran untuk menghadiri pemakamannya sore kemarin.


Saat ini saya hanya bisa mendoakan saja dari jauh. Semoga eyang berbahagia di atas sana. Maafkan mas Rio karena eyang belum sempat melihat mas Rio lulus. Selamat jalan eyang...Tuhan memberkati.

9 comments:

  1. may he rest in peace. ikut berduka cita ya, dimas..

    ReplyDelete
  2. Turut berduka cita Mas Rio. Untung lo waktu itu sempet bela2in kesana naik angkot ya.

    ReplyDelete
  3. turut berduka, Dim. semoga beliau diberi ketenangan disana. amin.

    ReplyDelete
  4. great people come and go my fren...
    turut berduka dim...

    ReplyDelete
  5. semoga eyang kakung mendapat tempat yang layak disisi-Nya!
    amin..

    ReplyDelete
  6. gila, sedih baget tulisan lo dim.. sampe berkaca2 gw ngebacanya..

    ReplyDelete